BAB 1

5.5K 685 35
                                    

Setelah susah payah menyeret rombongan koper dan tas yang besar dan banyak, akhirnya aku tiba juga. Di sini. Di apartemen lamaku yang kukira akan berbau sedikit apak karena lama tidak dibersihkan. Aku memasukkan sandi ke smart lock kemudian pintu terbuka, dan tentu saja benar mengenai bau apak itu. Meskipun demikian, ada perasaan lega yang tak bisa kugambarkan saat aku memasuki kembali apartemen ini. Setelah perdebatan panjang, aku bisa sampai di sini dan menghirup udara kebebasan. Tapi, kelegaan serta kebebasan itu tak sendirian. Dia datang komplit dengan perasaan sedih.

Sudahkah kukatakan kalau aku sudah merasa bebas? Yap. Bebas dari pengawasan Dewa. Bebas dari waktu-waktu yang berisi perdebatan rumah tangga kami. Bebas dari tekanan perasaan marah, kesal, cemburu dan sebagainya saat kami berada di bawah atap yang sama. Shit. Aku tadi mengatakan soal rumah tangga ya? Hah! Rumah tangga apa yang cuma bertahan selama enam bulan? Itu cuma serasa aku ngekos di rumah besarnya itu.

Wait. Aku tadi mengatakan soal cemburu juga ya? Godness! Itu perasaan paling memuakkan di dunia ini. Perasaan yang katanya tanda cinta, tapi sebenarnya cuma penyerap tenaga dan kewarasan otak. I'm done with jealousy! I'm done with marriage! I'm done with... Dewa. Ya Tuhan, susah sekali mengakuinya. Sayangnya, itulah kenyataannya. Semua perasaan itu yang mengantarkanku ke saat ini.

"Butuh apa lagi, Neng?"

Aku menoleh ke arah Pak Ramdi, supir Dewa, yang ditugaskan untuk membantuku pindahan keluar dari rumah Dewa.

"Nggak ada, Pak. Terima kasih. Bapak, beli makan sendiri ya. Saya belum punya apa-apa di sini."

Aku mengeluarkan dompet, berniat memberi Pak Ramdi uang lelah untuk membantu proses minggatku.

"Eh, nggak usah, Neng. Tadi Kang Dewa udah pesen supaya nggak terima apa-apa dari Neng Desi. Lagipula Bapak nggak melakukan banyak kok."

"Lhah, kenapa Pak? Bapak ngerasa disogok ya?"

Pak Ramdi tertawa, "Kata Kang Dewa, Neng Desi masih istri sah jadi masih tanggungan Kang Dewa. Jadi kalau bapak bantuin Neng, ya yang bayar Kang Dewa."

Aku memutar bola mata dan melempar dompetku ke tas lagi. Nggak masuk akal banget omongan Dewa. Istri sah katanya? Hih. Aku udah minggat juga, itu artinya apa? Niatku ingin berpisah darinya itu serius. Salah. Duarius! Umur gelar istri sah udah nyaris jatuh dari ujung tanduk.

"Lagian Neng, ngambeknya sampai pergi bawa barang segini banyak. Nanti kalau baikan, balik bawa segini lagi capek lho," ujar Pak Ramdi.

Kukira dia tadi menyebut barang bawaanku nggak banyak kan?

"Ya kan emang nggak ada tujuan baikan apalagi balikan, Pak."

"Astaga, Neng! Nggak boleh bilang begitu. Masa pengantin baru udah bilang begitu."

Pak Ramdi mengelus dada dan itu membuatku tertawa.

"Saya mah yakin, Kang Dewa nggak mungkin lepasin Neng Desi. Orang cinta mati gitu sama Neng Desi. Kata anak jaman sekarang tuh bucin!"

Nggak mungkin lepasin aku? Godness, aku beruntung itu salah. Lihat dimana aku sekarang? Dan... Apa kata Pak Ramdi tadi? Cinta mati? Ha ha ha ha. Cinta my ass!

"Masalah kami dan kepergian saya itu tanda kalau nggak ada cinta mati atau bucin, Pak."

"Dan untungnya begitu," imbuhku sambil bergumam.

Entah kenapa aku tetap menimpali omongan Pak Ramdi soal rumah tanggaku, padahal sudah jelas topik ini tak pantas diobrolin dengan pegawai kan? Hanya saja, aku tidak sanggup menahan lidah tak berkomentar pada orang-orang yang menurutku salah menilai perlakuan Dewa padaku. Apa yang mereka sebut cinta mati, bagiku adalah pengekangan Dewa.

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang