BAB 2

4.5K 655 17
                                    

Aku beruntung karena hari ini hanya ada dua pasien kontrol kandungan, nggak terlalu padat. Sakit kepala karena kurang tidurku jadi masih bisa dinegosiasi. Aku meletakkan kepala di meja saat semua jadwal sudah usai, berat sekali rasanya.

Apa perlu aku minum sebutir obat sakit kepala? Yah, kurasa perlu.

Aku bisa sekalian mampir ke apotek di perjalanan pulang sekalian menyediakan stok untuk kotak P3K dirumah. Mungkin aku butuh beberapa obat lainnya.

Setelah berkemas, aku mampir ke apotek rumah sakit dan meminta disiapkan beberapa obat. Mulai dari obat sakit kepala, maag, flu, antiseptik dan sebagainya.

"Nggak nyetok kondom, Dok?" tanya pegawai apotek yang biasa melayaniku itu. Wajahnya sedikit malu-malu.

Aku tersenyum kecut. Kondom buat apa? Kantong air?

"Masih ada," jawabku berbohong hanya supaya dia menghentikan pembicaraan itu.

Pegawai yang berumur cukup tua itu tersenyum, "Tumben. Biasanya cepet banget habis."

Astaga, harus banget dia bilang begitu?

Aku tersenyum dan segera pergi usai membayar. Selama menjadi istri Dewa, apotek ini memang tempat langgananku untuk membeli kondom untuk Dewa dan pil birth control untukku. Sekali beli aku bisa membuat semua orang termangu-mangu karena jumlahnya. Yap, kami memang memutuskan untuk menunda memiliki keturunan dengan bantuan kondom dan teman-temannya itu.

Menggunakan kondom dan mengonsumsi pil birth control memang pilihan bijak untuk mencegah kehamilan. Apalagi setelah aku tahu bagaimana 'menggilanya' aku dan Dewa ketika hormon sudah membakar kami. Dewa memang lebih suka menahan aku di tempat tidur daripada menghabiskan waktu di luar. Dan aku... Suka dengan keputusannya juga. We were madly in love. Ya itu dugaanku memang, pada akhirnya aku tahu bahwa urusan sex beda dengan urusan hati. Ya, naif memang. Cinta yang membuatku jadi demikian.

Menunda punya keturunan adalah salah satu keputusan kami saat sepakat menikah. Ehm, sebenarya itu keinginanku.

"Orang tua kita pasti marah kalau tahu kita menunda punya anak, Des," ujarnya kala itu.

Meskipun tak terus terang, aku tahu Dewa kurang setuju dengan usulanku. Dia selalu menggunakan nama orang tua kami untuk menyanggah ide menunda kehamilan itu.

"Punya anak itu gampang, Wa. Membesarkannya itu soal lain. Tiap hari lihat perempuan hamil justru bikin aku hati-hati dengan keputusan ini. Enak laki-laki, tinggal tanam terus ya udah. Lah, perempuan harus bawa anak kemana-mana sembilan bulan, melahirkan, menyusui, dan sebagainya. Aku nggak siap untuk itu."

Raut mukanya terlihat kecewa, "Aku kelihatan nggak kompeten soal menjadi orang tua ya? Sampai kamu bilang aku cuma sekedar menghamili kamu."

Melihat raut itu ada rasa bersalah di hatiku. Aku kemudian mendekat dan mengecup bibirnya.

"Kamu tahu benar bukan itu maksudku, Wa. You're a great man. Itulah kenapa aku maunya nikah sama kamu, tapi punya anak itu soal lain."

Dan seperti biasanya, seperti Dewa yang selalu kukenal, dia mengalah dan mengiakan mauku. Jadi semenjak itulah kami sepakat untuk menunda punya keturunan. Tapi sekarang aku juga bersyukur dengan keputusanku itu, seandainya saja aku menuruti maunya memiliki anak secepat mungkin, aku yakin berpisah dengan Dewa akan semakin berat. Ada ikatan lain yang menyatukan kami dan kalau pun dia ada, aku yakin aku akan rela melakukan apapun agar tetap bersama Dewa.

***

"Kamu gila beneran, Des. Kamu beneran minggat dari rumah?"

Entah sudah berapa kali Eliana menyebutku gila setelah mendengar ceritaku keluar dari rumah Dewa.

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang