BAB 3

4.3K 611 17
                                    

Eliana sudah muncul di pintu ruanganku saat jam praktekku sudah usai. Hari ini dia memintaku menemaninya belanja bulanan, sekalian aku juga ikut belanja. Aku butuh banyak peralatan rumah tangga di apartemenku, ya aku kan sudah lama meninggalkannya. Setidaknya aku butuh sapu baru, penebah baru, seprai baru, makanan, dan beberapa keperluan lainnya. Sementara Eliana, aku yakin dia butuh banyak makanan untuk keluarganya.

Eliana adalah sahabat dekatku yang sudah menikah jauh lebih dulu dari padaku. Kalau aku memilih menikah di penghujung usia tiga puluh, Eliana justru sudah menikah ketika akan lulus kuliah. Saat itu dia buru-buru menikah sebelum suaminya berangkat kuliah S2 ke UK, mereka kemudian menjalani pernikahan jarak jauh. Setelah lulus, Mas Pram pulang dan dia langsung membuat Eliana hamil. Sekarang Eliana sudah punya satu orang putri, Yuki. Dia luar biasa menggemaskan dan cerewet seperti Eliana.

"Yuki nggak ikut?" tanyaku sembari menoleh ke baby car seat di jok belakang mobil Eliana yang kosong.

Bukannya menjawab, Eliana justru menatapku tajam.

"First, jawab dulu, Dewa berhasil menggeret kamu pulang?"

Aku menggeleng sambil menyibukkan diri memasang seatbelt dan memainkannya.

"Kenapa belum? Apa kalian justru bertengkar?"

Aku menggeleng lagi. Dewa memang tak bertengkar denganku, bahkan dia memperlakukanku sama baiknya seperti biasanya. Dia sama sekali tidak berubah meskipun aku sudah memperlakukannya dengan galak. Mungkin karena tahu aku malas membahas Dewa, Eliana menghela napas dengan kasar.

"Yuki di rumah neneknya. Syukurlah karena orang tuaku mau ajak Yuki selagi aku belanja bulanan. Bawa balita selagi belanja itu capeknya sepuluh kali lipat!"

Aku terkekeh mendengar runtukannya sekaligus berterima kasih karena Eliana mau mengganti topik pembicaraan. Dia memang selalu punya stok keluhan untuk kudengarkan. Eliana mengemudikan mobil menuju supermarket langganannya. Lalu lintas sedikit melambat kemudian terdengar bunyi tanda kereta yang akan melintas.

"Kamu inget gimana pertemuan pertama kamu sama Dewa gak, Des?" Eliana terkekeh sembari menepuk lenganku, "Itu hal paling memalukan dan aneh menurut aku. Meskipun kamu sudah berulang kali menceritakannya, aku tetap menertawakannya."

Apa aku tadi sempat berterima kasih pada Eliana? Ya, aku membatalkannya. Dia tak benar-benar perhatian. Tepat saat itu aku mendengar sebuah kereta melaju kencang. Aku melihat kereta itu dan tersenyum kecil. Bagaimana aku bisa melupakan hari pertemuanku dengan Dewa?

Hari itu hari Sabtu. Saat itu aku masih di awal kuliah program spesialisku, tapi aku diberi kesempatan pulang karena harus mengurus sesuatu di rumah. Aku bahkan tak ingat apa urusannya, karena itu cuma alasan orang tuaku yang sudah rindu padaku. Aku naik kereta menuju Jakarta dan di sanalah aku bertemu Dewa.

Saat itu aku berniat meletakkan koper hitamku ke rak di atas bangku kereta, tapi seseorang menatapku bingung.

"Sepertinya kamu salah ambil koper. Itu punyaku," ujarnya.

Aku mengernyit dan menatap koper yang masih berada di bawah. Sama persis. Astaga, benarkah aku salah? Memalukan.

"Punyaku ada tag namanya," ujarnya lagi.

Aku mengikuti arah jari telunjuknya. Benar saja, ada sebuah tag menggelantung di koper yang kuangkat tadi. Dengan muka bersemu merah aku berusaha menukar tas kami, tapi dia menahan dengan alasan berat. Toh akhirnya akan tetap di atas juga, itu alasannya lagi. Dia cuma perlu berjalan sedikit jauh untuk mengambil kopernya nanti saat turun dari kereta. Aku sudah berulang kali minta maaf dan dia cuma tersenyum kecil.

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang