BAB 10

3.1K 455 12
                                    

Masih terlalu dini untuk berharap, tapi bukankah menyenangkan memiliki pengharapan?

Itulah yang kukatakan pada diriku semenjak pertemuan dengan Lukas tempo hari. Meskipun dia belum menghubungiku melalui handphone Tante Agnes untuk memberikan kabar baik, aku masih mencoba memupuk harapanku. Selain karena aku merasa tak ada jalan lain, setidaknya berharap itu membuatku merasa waras tiap harinya. Sejujurnya, aku merasa sulit untuk berusaha waras saat ini.

Rentenir sudah pernah datang lagi untuk menagih utang Dean. Seperti biasa, aku hanya berjanji-janji saja. Mereka sangat marah bahkan mengancam ingin membunuh kami.

Membunuh.

Demi apapun, apa yang ada di otak mereka sih sehingga memandang remeh nyawa orang lain?

Sebagai dokter, setiap hari aku bergumul dengan kegiatan memperjuangkan satu nyawa. Bagaimana bisa orang-orang ini menganggap remeh arti nyawa?

Keadaan itu diperparah dengan kondisi Mama yang menurun. Sudah beberapa hari Mama tak mau makan dan hanya membiarkan nasi mengeras dengan sendirinya. Aku merasa penat dan sesuatu menumpuk di dadaku, tapi tak satupun emosi yang memancar dengan benar. Sebagai pelampiasan, aku mencuci baju.

Sakit.

Ya, jariku akan lecet. Ruam karena alergi zat-zat tertentu.

Hanya saja, sakit di jari seolah bisa mengalihkan rasa sakit yang menggigit di hatiku.

"Kita perlu bantuan," ujar Tante Agnes.

Wanita itu mengambil baju yang sudah kucuci dari ember kemudian membantuku menjemurnya.

"Desi tahu, Tante."

"Apa tidak bisakah kita meminjam uang dari Dewanto dulu? Suamimu pasti mau."

Tubuhku menegang seketika dan perlahan aku menatap Tante Agnes.

"Dia kaya dan sudah pernah tahu kejadian ini. Nggak ada sa—"

"Itu salah, Tante," potongku.

Tante Agnes mengamatiku dengan seksama.

"Pertolongan Dewanto adalah awal kesalahan. Tante nggak tahu kan kalau beberapa hari ini Desi dihantui rasa bersalah karena menerima bantuan Dewa saat itu?"

Aku merasa dadaku panas dan sesuatu menyekat tenggorokanku.

"Kalau saja Dewa nggak melihat penyitaan rumah kita. Kalau saja Dewa nggak menutup semua utang keluarga kita saat itu dan beberapa kali setelahnya. Bahkan, kalau saja Mama nggak sadar hari itu. Desi nggak perlu berakhir dengan menikahi Dewa. Desi bisa tinggal bersama keluarga kita, bekerja untuk kalian, dan menjaga Dean agar tidak jatuh ke pergaulan yang salah!"

Aku mengusap mataku yang kurasa panas, anehnya tak ada air mata.

"Desi dan Dewa nggak serasi. Kami seharusnya nggak dinikahkan dengan cara seperti itu. Semua salah!"

Setelah meneriakkan semua hal itu, aku meninggalkan teras belakang dan juga meninggalkan rumah. Aku mirip seperti banteng marah yang berjalan ngawur dan siap menabrak apapun di depanku. Aku berbelok ke kanan, melewati bangunan tua yang dijadikan penginapan. Melewati rumah besar, toko bangunan, toko kelontong, hingga kemudian tiba di jalan raya. Aku menatap hampa kendaraan-kendaraan yang lewat dari tepi trotoar.

Kenapa semua bergerak maju, tapi tidak dengan hidupku?

Apa aku sedang berhenti? Atau mundur?

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang