BAB 14

3.3K 502 17
                                    

Penginapan ini diberi nama hotel, tapi berupa rumah dengan banyak kamar berjejer yang disewakan. Bangunannya masih bangunan lama dengan atap tinggi dan pintu yang tinggi juga. Hanya ada satu lantai dan memiliki beberapa kamar yang kelihatannya luas. Pintu-pintu kamar berwarna kuning muda, tembok-tembok berwarna putih bersih, dan lantainya berlapis tegel yang memiliki motif yang indah sekali. Aku yakin tegel ini hasil renovasi.

Penjaga penginapan menunjukkan kamar Dewa dan tak lama kemudian aku berdiri di depan pintu kamar itu. Aku mengetuknya beberapa kali hingga Dewa membukakan pintu. Dia baru bangun tidur. Wajahnya sedikit pucat, apa dia sakit?

"Sahabat kamu yang baik hati dan informatif itu menunggumu di luar," kataku enggan.

Dewa tersenyum kecil, memperluas celah pintu, dan berbalik. Ah, dia mengundangku masuk.

"Masuklah."

Aku memicingkan mata menatap punggungnya hingga dia berbalik dan menatapku bingung.

"Astaga, masuklah."

Kurasa dia tahu kekhawatiranku. Tak ingin dipandang lemah, aku masuk ke kamarnya. Seperti dugaanku, kamar itu cukup rapi. Aku yakin kalau aku yang berada di sini, koperku pasti masih terbuka, beberapa bajuku berceceran, dan sepatuku tak berada di pojokan dengan masih berdiri berjejeran. Tapi karena ini Dewa, ini rapi.

"Peter ingin mengambil ini. Tolong berikan ya, Des."

Dewa menyodorkan sebuah amplop cokelat yang diambilnya dari tasnya kepadaku.

"Kenapa nggak kamu berikan sendiri?"

"Aku nggak enak badan. Mungkin kecapekan karena perjalanan kemari."

Astaga. Manja betul!

"Kamu bercanda ya? Perjalanan kemari nggak sampai setengah hari!"

"Ya. Kalau naik pesawat dulu ke Surabaya."

"Hah?"

Dia mengangguk kecil, "Aku perjalanan darat kemari."

Seketika amplop di tanganku merosot ke lantai.

"Ya Tuhan, Wa. Kamu gila ya? Itu ja— Astaga."

Aku mengurut pelipisku yang tiba-tiba terasa nyeri. Tiba-tiba sepasang tangan menyingkirkan tanganku dan meletakkan tangannya di tengkukku. Aku mendongak ketika merasakan pijatan pelan di tengkukku.

"Aku terlalu takut kalau aku menunggu lebih lama, kamu bisa kabur lagi" katanya.

"Astaga, Dewa. Kamu seharusya menunggu pesawat berikutnya. Kamu kan pinter, kenapa jadi nggak realistis gini sih? Itu perjalanan jauh. Kamu pasti K.O."

Dia menarik bibirnya dengan senyum tipis, "Nggak masalah. Yang penting kamu sudah ada di hadapanku. Nggak masalah aku harus beberapa hari sakit."

Aku menyingkirkan tangannya dari tengkukku dengan kasar, "Jangan ngomong sembarangan."

"Ya, itu karena aku terlalu bahagia."

Ingin sekali membalas perkataan itu dengan celaan. Jujur saja, aku punya stok banyak kata celaan untuk kalimat itu, hanya saja aku tak tega.

"Dengan siapa kamu kesini?" tanyaku.

"Anak Pak Ramdi. Dia dan aku bergantian menyetir kesini."

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang