BAB 21

3.1K 428 4
                                    

Aku bergumam menanyakan maksudnya ketika akhirnya tatapan kami bertemu.

"Emir akan mengadakan makan malam dengan kita. Tentu ada Risyad dan lainnya beberapa hari lagi. Kamu mau kembali ke Jakarta denganku untuk acara merayakan pertunangan Emir itu?"

"Ke ... Jakarta?"

Dewa mengangguk kemudian berdiri. Dia pergi ke sisi kamar lainnya dan mulai melepas jam tangan dan sebagainya.

"Aku akan mandi. Kamu bisa memikirkannya sebentar."

Tak lama dia menghilang ke kamar mandi. Aku merenung mendengar permintaan Dewa. Aku tidak mempermasalahkan ajakan makan malam itu. Aku yakin Dewa ingin bertemu teman-temannya dan merayakan pertunangan Emir. Hanya saja, aku sedikit tidak bersemangat kalau kami harus ke Jakarta. Aku khawatir Dewa akan menuntutku untuk membawaku kembali ke Jakarta.

Jakarta memang akan menjanjikan banyak hal lebih baik untuk kami, karir terutama. Tapi gimana sanggup aku meninggalkan keluargaku di sini? Lalu gimana kalau semua tak kembali utuh seperti dahulu? Gimana kalau aku tak bisa melupakan masa lalu dan Dewa mungkin akan ingat kelakuan burukku dulu?

Aku sudah mulai mendengar gemericik air saat memutuskan mengganti baju. Aku tadi membawa 'baju dinas' baruku kemari. Baju dengan banyak renda dan sedikit kain satin untuk menutupi tubuh. Aku sengaja membeli baju seksi untuk menyenangkan Dewa. Apalagi setelah banyak hal yang terjadi kepada kami akhir-akhir ini, aku ingin sedikit mengapresiasinya.

Setelah selesai berganti baju, menyisir rambut, dan menyemprot minyak wangi, aku terlentang di tempat tidur. Tak lama kemudian, dia muncul. Kurasakan mukaku sedikit kepanasan ketika mata kami bertemu. Apa dia menyukai kejutan ini?
Dia kemudian tertawa lebar saat melihatku. Dia melupakan pakaiannya dan mendatangiku.

"Astaga, ini cantik sekali."

Dia menunduk kepadaku yang sedang duduk di atas tempat tidurnya dan menciumku.

"Kasurnya nggak berdecit?" tanyaku yang membuatnya tertawa di atas bibirku.

"Aku nggak peduli kalau berdecit sih," timpalnya cuek.

"Oh, aku peduli. Aku memedulikan sopan santun, Wa."

Dia mengangkat kepala dan menatapku, "Apa sudah memikirkan jawabannya untuk ikut aku ke Jakarta?"

Aku mengamati matanya dan terseyum. Aku ingin memikirkannya matang-matang dan sepertinya tidak bisa saat ini. Jadi aku mengalungkan tanganku ke lehernya dan menariknya lebih dekat. Kasur sudah benar-benar di bawahku dan Dewa di atasku. Dia menatap bertanya kepadaku.

"Bisa diskusikan nanti lagi? Aku ingin menyelesaikan yang satu ini."

Setelah mengatakannya, aku mencium Dewa. Dewa terasa segar dan manis. Itu pasti rasa pasta giginya dan rasa dia sendiri. Kulitnya beraroma segar dan dingin. Dia lembab dan aku suka merasakannya di bawah kulitku. Aku suka mencium Dewa setelah ciuman pertama kami. Dia selalu lebih banyak menerima dan membiarkan aku bermain-main dengan bibir.

Agresif.

Aku nggak malu mengakuinya. Apa salahnya menjadi agresif dengan ciuman atau sex? Malu? Oh, tentu memalukan untuk dikatakan, jauh lebih mudah untuk dilakukan. Prinsip sederhana itulah yang membuatku mengabaikan strata-strata khusus mengenai kegiatan bermesraan.

Tangan Dewa mengusap ke dadaku dan membalikku hingga tengkurap di atas kasur. Semudah membalik telur di atas teflon, semudah itu juga dia melakukannya padaku.

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang