BAB 22

3K 446 8
                                    

Dewa menceritakan banyak hal mengenai tawaran praktek yang datang padanya. Meskipun bersemangat membahas peluang-peluang baru di tempat barunya, aku merasa Dewa tidak sebahagia itu. Mungkin, tidak seantusias kelihatannya. Aku tahu ini saat yang pas untuk menanyakan langkah kami berikutnya, hanya saja aku maju mundur untuk membahasnya.

Hingga akhirnya Dewa berhenti membahas, aku membalas dengan ucapan mendukung semua keputusannya. Kecuali Jakarta, kalau boleh. Aku pun memutuskan mengangkat topik pembicaraan lainnya.

"Soal ke Jakarta," aku berdeham. "Aku ingin ikut, Wa. Aku ingin ketemu Kenanga."

Setelah memikirkannya, aku memilih untuk ikut Dewa ke acara itu. Selain karena memang aku ingin bertemu Kenanga, aku juga ingin berkunjung ke Eliana. Juga, aku ingin menjadikan ini kesempatan mempertimbangkan keputusanku mengenai pilihan dimana aku ingin mengajak Dewa tinggal. Mungkin kalau berada di Jakarta aku bisa lebih mudah menentukan pilihan kan?

Mendengar keputusanku, Dewa mendongak dari laptopnya. Matanya menyipit kemudian tersenyum lebar. Dia kemudian mengucapkan terima kasih. Well, aku tahu dia sudah merindukan Jakarta, teman-temannya, dan beberapa hal yang perlu dia urus di sana.

"Kita akan pergi naik pesawat, Wa. Aku nggak mau perjalanan darat. Capek," kataku.

"Iya. Aku juga nggak mau mengulanginya. Lebih baik berdiri berjam-jam untuk operasi daripada menyetir."

Kami tertawa setelahnya. Aku mengambil langkah mendekatinya dan merebah di sisi tempat tidurnya yang kosong. Aku ikut mengamati layar laptopnya yang berisi diagram-diagram yang kuyakin mengenai salah satu usahanya.

"Apa aja yang akan kamu lakukan di Jakarta?" tanyaku separuh mengantuk.

"Hm," aku melihatnya menjilat bibir bawahnya. "Menemui beberapa orang dan ke rumah sakit. Aku belum berpamitan dengan benar."

Seketika tatapanku mendongak ke arahnya yang sedang duduk di sampingku.

"Saat aku kemari, aku cuma mengatakan akan segera kembali. Ini terlalu lama, bahkan aku sudah dikabari banyak perubahan yang terpaksa dilakukan karena kepergianku," sambungnya.

Aku ingin mengatakan maaf, tapi tak rela melakukannya. Ya, aku sedikit egois, tapi aku suka Dewa lebih memilihku dan berada di sini.

"Lalu?"

Aku memilih mengabaikan beberapa pertanyaan serta perasaan bersalah dan mengalihkan topik pembicaraan.

"Aku harus mengurus beberapa bisnis. Mungkin, aku akan merepotkan Emir dan Yonki untuk mengurus bisnis bersama kami. Lainnya, aku akan minta orang dari salah satu orang kepercayaan papa di perusahaan untuk membantuku mengurusnya. Apa lagi ya ..."

Dia bergumam, "Membelikan beberapa hadiah untuk Emir sebelum pernikahannya. Apa lagi ya ..."

Ada beberapa hal lainnya yang disebutkan Dewa dan aku cuma mendengarkan. Dewa memiliki banyak hal yang diurus dan banyak orang membutuhkan, bahkan juga menginginkan keberadaannya. Aku menghela napas dan tersenyum selama dia mengatakan kesibukan yang ingin diurusnya.

"Oh ya, aku sudah menjanjikan satu kali makan bareng Lukas dan Peter. Gimana menurutmu?" tanyaku.

"Hm. Lukas."

Aku mengernyit menatap Dewa menyebut nama Lukas dengan enggan.

"Ya. Dia adik Peter, kamu tahu kan?"

Dewa mengangguk kecil dan kembali menekur laptop.

"Takdir sekali kalian bisa bertemu lagi kan?"

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang