BAB 13

3.1K 476 10
                                    

Kenapa aku harus menangis?

Pertanyaan itu terus bergelayut di pikiranku setelah beberapa saat aku menangis di pelukan Dewa. Ya, aku tahu kalau aku memang membutuhkan Dewa karena selama masa sulit hidupku, aku tak pernah bersandar pada siapapun selain pada Dewa.

Apa soal finansial?

Ya, itu pasti. Hanya saja, aku tak pernah bisa melampiaskan stresku, takutku, dan kepenatanku mengenai masalah keluarga kami, kecuali pada seseorang yang kukatai licik tadi. Semenjak Dewa mengetahui masalah keluarga kami, untuk pertama kalinya dari hidup, aku bisa bercerita pada seseorang mengenai emosiku. Kami tak pernah membahas nominal — karena sungguh itu tidak pantas — tapi dia mendengar keluh kesahku dan memberiku semangat untuk bertahan.

Itu hal yang kubutuhkan.

Seperti tadi, ya ampun, lagi-lagi jiwa emosionalku terbangun. Selama beberapa bulan saat bersembunyi darinya, aku merasa kuat dan bisa bertahan. Namun, melihatnya di hadapanku, aku tahu kalau itu tidak benar. Aku lelah, stres, takut, emosional, bahkan nyaris gila menghadapi masalahku. Terutama, aku merasa sendirian.

Bukannya aku tak menghargai keberadaan Tante Agnes sebagai satu-satunya orang yang bisa kuajak bicara, hanya saja aku tak bisa terbuka padanya. Terkadang tekanan utang membuat Tante Agnes sangat amat menyebalkan. Bahkan, aku yakin demikian pula aku di matanya.

Setelah tenang, Dewa membawaku ke kamar Dean yang kutempati. Dia membiarkanku duduk di tepi tempat tidur, sementara dia sedang memasukkan koper-kopernya dan mengamati keadaan kamar ini. Sesuatu membuatku tersadar, Dewa berada dekat denganku. Terlalu dekat. Dia tidak boleh di sini, karena dia pasti ingin menyeretku kembali ke Jakarta, sementara itu tak bisa kulakukan.

"Seharusnya kamu nggak di sini, Wa."

Aku bangkit dari tempatku duduk — lebih tepatnya tempat tidur — dan menarik tangannya keluar dari kamar.

"Aku akan di sini."

Dia melepaskan tanganku dan tersenyum. Senyum itu membuatku mengernyit.

"Kenapa kamu tersenyum sih? Aku serius, Wa. Sebaiknya kamu pergi."

Dia malah mencekal tanganku, "Rumah ini terlalu kosong. Nggak ada satupun kursi. Dimana aku harus meletakkan diri? Tempat tidur kan? Hanya itu tempat yang memungkinkan."

Dewa tersenyum dan malah menyeretku kembali ke arah tempat tidur. Melihat kasur itu aku langsung menariknya menjauh. Aku memicing menatapnya.

"Kamu jangan mikir aneh-aneh ya, Wa. Ka—"

"Aku cuma mau duduk, Sayangku."

Dia kemudian duduk di satu sisi dan menepuk sebelahnya supaya aku duduk. Aku diam menatapnya hingga kusadari ujung kakinya menyentuh kakiku.

"Kamu gugup."

Aku menatap kaki kami dan mendengus sebal. Kebiasan buruk ini memang tak bisa disembunyikan. Sambil menghela napas panjang, aku akhirnya duduk di sebelahnya.

"Gimana kamu tahu aku di sini?" tanyaku padanya.

Dia tak menjawab, justru mengamatiku. Tatapannya kemudian turun ke kedua tanganku yang tertaut. Dia kemudian memicing. Tangannya terulur dan mengamati tanganku.

"Apa yang terjadi dengan tangan kamu?"

Aku berniat menarik tangan, tapi dia mencengkeram.

"Alergi deterjen."

Dia menatapku marah. Sangat marah.

"Aku sudah bilang, kamu milikku. Semua milikku. Kenapa kamu membiarkan bagian dirimu luka seperti ini?"

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang