BAB 4

3.8K 552 11
                                    

Saat pertama kali bertemu dengan Dewa, aku sangka dia adalah orang yang kuper dan rumahan. Ya, sepertinya aku tertipu oleh penampilan luarnya yang jujur saja agak culun. Tapi itu salah, tak seratus persen, tapi cukup salah. Dewa ternyata punya pergaulan yang lumayan rame dibandingkan orang-orang sepertinya, maksudku calon-calon dokter yang menghabiskan waktunya di rumah sakit. Dia punya teman-teman yang datang dari lingkungan berada, sama seperti Dewa. Apa yang mereka lakukan untuk mengisi waktu luang cukup memakan uang banyak.

Aku mengetahuinya saat kami sepakat untuk kencan pertama kali. Ya, setelah kami berpisah di stasiun dan bertukar nomor telepon, kami berkomunikasi intens. Aku memberanikan diri untuk mengajak dia jalan duluan, pergi makan. Dia datang dengan tiga orang temannya, semuanya rupawan. Aku sudah cukup berpengalaman dengan pria jadi aku sudah menduga tujuan Dewa mengajak tiga temannya kemari. Mengetes aku.

Seperti dugaanku, ketiga teman Dewa tebar pesona dan berusaha menggodaku terang-terangan. Menanyakan berapa umurku, punya pacar atau tidak, dan semacamnya untuk membuat fokusku terpecah. Tapi untukku itu mudah sekali ditangani, tentu saja cara jitunya adalah mengikuti arus permainan. Menjawab pertanyaan mereka keseluruhan dan tetap mengamati Dewa yang kebanyakan hanya menatapku penuh penilaian.

Dari teman-temannya, aku tahu mereka melakukan banyak kegiatan bersama. Muay thai, golf, minum-minum, dan sebagainya. Itu jelas bukan kegiatan yang murah kan? Mereka bahkan tak sungkan menyebut kegiatan-kegiatan itu bertentangan dengan ilmu kesehatan yang dipelajari Dewa. Well, betul sih. Tapi apa mereka tahu, hidup terlalu lurus kadang menjemukan dan tak bagus untuk jiwa?

"Apa Mas Dewa gak terlalu membosankan?" tanya Yonki, teman Dewa yang paling muda.

Kebetulan Dewa ke toilet, kurasa itu disengaja. Dewa pasti ingin teman-temannya ngobrol lebih banyak denganku.

Aku menatapnya penuh tanya sementara dua temannya yang lain mengiakan.

"Dewa menyenangkan," jawabku.

"Jadi kamu suka pria yang mirip textbook?" Kalau tidak salah yang bertanya kali ini namanya Emir.

Aku tertawa, "Aku rasa begitu. Tapi menurutku Dewa nggak se-membosankan itu. Apa aku salah?"

"Dia nggak se-membosankan itu, dibanding lainnya. Di sini, ya."

Emir tersenyum manis dan mencondongkan badan, "Oh ya, akhirnya kamu bilang menyukainya."

Aku menunduk dengan malu-malu dan aku bisa pastikan kedua pipiku memanas. Sementara ketiga teman Dewa tertawa.

"Kelihatan banget," timpal Mas Risyad. Dia satu-satunya teman Dewa yang seumuran dan sudah menikah.

"Kami senang kalau kamu akhirnya bersama Dewa. Kalian cocok. Setidaknya hidup monoton Dewa tidak akan sesepi kuburan karena punya gadis yang ceria di sisinya," lanjut Mas Risyad.

"Jadi," aku melirik ke arah toilet berada dan kembali menatap tiga teman Dewa, "Aku sudah lulus ini?"

Ketiganya saling menatap kemudian tertawa.

"Kenapa? Bukannya Dewa minta kalian mengetes aku?" tanyaku bingung.

"Bukan," sahut Emir, "Bukan mengetes. Mas Dewa memang minta kami temani, tapi bukan untuk mengetes."

"Lalu?"

"Mas Dewa takut kami, teman-temannya, akan buat kamu nggak nyaman. Padahal kami sering bersama," jawab Emir.

"Aku nggak akan minta Dewa memilih aku atau kalian. Itu kompetisi nggak masuk akal."

"Aku rasa, Dewa menyukaimu. Itu juga jadi alasan dia berani dengan cepat memperkenalkan kita."

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang