BAB 9

2.9K 481 23
                                    

Semenjak aku membayar uang cicilan utang Dean, para penagih utang tidak lagi datang. Kami mengalami hari-hari damai selama setidaknya dua minggu. Namun setelahnya, para penagih utang kembali datang dan membuatku menjual beberapa perhiasan pemberian Dewa yang kubawa. Itu kembali membuat mereka tak menghampiri rumah kami.

Ini mirip neraka.

Sungguh aku benci dengan keadaan ini. Belum lagi kegaduhan yang mereka buat saat menagih. Sama sekali tidak berperikemanusiaan. Bahkan saat aku sudah memohon untuk mereka tenang karena bisa membuat keadaan Mama memburuk, mereka tak peduli. Mereka justru mengungkit kesalahan Dean dan kewajibannya membayar. Sialan.

Makin lama dengan keadaan ini, aku sadar bahwa uang kami makin menipis. Membeli kebutuhan sehari-hari makin sulit. Kami terpaksa mengurangi jatah makan dan memotong pengeluaran lainnya seperti laundry pakaian. Semenjak keputusan itu, aku dan Tante Agnes mulai bergantian mencuci baju kami sendiri.

Jujur saja, ini menyiksaku.

Seumur hidup aku tidak pernah mencuci baju lebih dari dua helai per hari. Itu pun hanya dalam keadaan tertentu. Mengetahui kemampuanku yang payah itu, Tante Agnes seringkali berbaik hati menggantikan tugas itu.

"Aku lebih suka melihat kamu mulai mencari pekerjaan yang bener, Des," ujarnya sambil mengamati jariku yang lecet dan tanganku yang ruam.

"Kamu lulusan kedokteran. Nggak sulit mencari pekerjaan pengganti di rumah sakit di sini kan," imbuhnya.

Aku meringis dan diam. Tante Agnes kemudian mengolesi tanganku dengan minyak yang membuat luka-luka itu terasa lebih baik.

"Mama sudah tidur?" tanyaku.

Tante Agnes mencibirku, "Kamu tahu benar dia nyaris menghabiskan separuh harinya dengan menutup mata. Setengahnya lagi berdiam diri."

Lagi-lagi aku meringis.

"Mama depresi," kataku.

Tangan Tante Agnes mengibas santai, "Apapun namanya, aku tahu dia memang lebih suka seperti itu. Aku sungguh berharap dia bisa menangisi Dean atau mungkin kamu sekarang. Andai dia tahu apa yang menimpamu sekarang. Maksudku, andai dia menyadarinya."

Aku mendongak menatap Tante Agnes yang mengangguk kecil.

"Aku bukan Mamamu yang katamu sedang depresi itu. Aku tahu ada yang nggak beres dengan hidupmu, Des. Itulah mengapa kamu di sini kan? Aku nggak sebodoh itu. Kamu dulu sangat ngotot menjadikan dirimu dokter yang berdedikasi, lalu kenapa kamu terdampar di sini? Padahal niatku cuma memintamu kemari satu atau dua hari, tapi kamu tinggal terlalu lama."

"Desi se—"

"Rumah tanggamu juga kan?"

Seketika aku merasakan mataku melebar dan sesuatu terasa mengganjal tenggorokanku. Seperti biasa, aku menelannya.

"Kalian baru menikah beberapa bulan, tapi kamu di sini. Itu aneh untukku."

Aku segera mengerjap, "Tolong jangan bahas ini lagi, Tante. Desi nggak ingin membahasnya."

"Gimana bisa kamu nggak ingin membahasnya, Nak? Astaga. Kamu sedang membahayakan pernikahanmu! Bahkan hidupmu!"

Tanpa bisa kukendalikan, aku berdiri dan menatap marah pada Tante Agnes.

"Tante nggak tahu apa-apa. Desi... Desi..."

Aku menutup mata dan berhambur ke kamar. Seperti abege yang marah, aku membanting pintu dan menguncinya.

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang