BAB 20

3.2K 478 11
                                    

Malam itu setelah kami makan malam, Dewa menghabiskan waktu di kamarku. Dia membantuku membereskan baju dan setelahnya kami berbaring berdesakan di ranjang milik Dean. Separuh badannya nyaris di bawahku dan dia memelukku.

"Hari ini Emir bertunangan," ujarnya sambil mencium pundakku.

"Oh ya?"

"Hm."

Suara Dewa sedikit mengantuk.

"Dan kamu di sini. Apa Emir nggak kecewa?"

Tangan Dewa terulur dan mengusapku dalam pola tak menentu, "Nggak. Risyad juga nggak datang karena keadaan Kenanga nggak memungkinkan pergi ke pesta. Sedangkan Yonki dilarang keras hadir di pesta."

"Kenapa?"

"Tepatnya dia dan Diana. Emir nggak bisa memilih salah satunya untuk hadir, sedangkan mengundang keduanya berarti memanaskan telinga dengan perdebatan mereka yang seringkali konyol. Jadi, Emir memutuskan melarang keduanya datang."

Aku tergelak mendengar bagian mengenai Diana dan Yonki. Hanya sekali aku pernah bertemu keduanya sekaligus dan itu benar-benar membuatku pening setelahnya. Tak salah kalau teman-teman Dewa mengatakan bahwa mereka berdebat semudah bernapas.

"Itu bijaksana," kataku masih dengan sedikit tawa.

"Apa Kenanga baik-baik saja?" tanyaku kemudian.

"Sebaiknya kamu menelponnya, bisa pakai handphone-ku kalau kamu masih keberatan menyalakan handphone kamu sendiri. Dia termasuk salah satu tong sampahku saat berkeluh kesah mencarimu. Aku yakin dia khawatir juga. Meskipun aku sudah mengabarinya mengenai pertemuan kita, aku yakin dia akan senang mendengar suaramu sendiri."

Aku diam beberapa saat kemudian mengangguk.

"Oh, juga Eliana. Aku benar-benar merepotkannya," sambung Dewa.

Astaga, aku merindukan Eliana. Demi apapun.

"Gimana harimu hari ini?" tanyaku.

Giliran ujung jariku menggambar pola acak di punggung tangannya.

"Hm, aku meninjau beberapa profil rumah sakit yang menawariku posisi di sini."

"Berapa rumah sakit yang menawari kamu posisi?"

Dewa menggumam pelan, "Enam termasuk beberapa klinik dan rumah sakit yang di luar kota ini, tapi masih cukup dekat."

Ya ampun, itu banyak. Dewa memang berbeda dariku. Karirku masih seujung kukunya.

"Lalu kamu sudah memutuskan?"

Dewa melakukan gerakan kepala, sepertinya menggeleng.

"Aku perlu mempertimbangkan banyak hal. Tapi," dia meniup tengkukku pelan, "Kurasa sekarang aku lebih suka memikirkan mengenai membeli kasur yang lebih besar, Des. Gimana menurutmu?"

Aku melirik kasur di bawahku kemudian tertawa.

"Aku suka berdesakan denganmu seperti ini, tapi nggak baik untuk pinggang kita," gerutunya.

Aku kemudian memundurkan sedikit pantatku dan membuatnya terkesiap.

"Aku juga nggak setuju kalau kita sering berdesakan," kataku sedikit berbisik.

Napas Dewa sedikit berubah ritme, sedikit menajam. Tangannya kemudian mengusap pinggangku dan terus seperti itu. Perlahan daster tidurku terangkat ke atas dan telapak tangannya mengusap ke kulit telanjangku.

"Jangan," cegahku.

"Kenapa?" gerutunya.

"Tempat tidurnya berdecit, Wa. Jangan bikin kita malu."

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang