Lima

191 12 0
                                    

Ketika rasa sakit kembali membelenggu, kalimat "semua akan baik-baik" selalu menjadi penenang.

***

Manusia dapat mencatat dengan rapi rencana untuk kedepannya meskipun takdir mencatat sebaliknya. Disaat rencana yang ditulis dengan sejuta harapan tidak terlaksana, ia akan akan menangis dan tak terima dengan kenyataan yang harus dihadapinya. Singkatnya adalah hancur. Lupa bahwa dirinya hanyalah pemeran disetiap skenario yang Tuhan tulis. Bukan penulis skenario!

Terlepas dari kesedihan yang membelenggu saat kenyataan tak sesuai dengan rencana yang ditulis, manusia tak akan bisa mengelak bahwa skenario Tuhan sangatlah indah. Meskipun nantinya akan berakhir dengan tangis ataukah bahagia.

Jevan tak bisa menampiknya. Semua yang terjadi padanya, ia yakin bahwa pada akhirnya Tuhan pasti memberi kebahagiaan untuknya. Kejutan dari Sang Maha Pencipta memang tak pernah main-main. Setelah penderitaan yang dilaluinya, kebahagiaan akan menyambutnya.

"JEVAN!"

Manik hitam itu mengerjap pelan. Menarik kembali kesadarannya yang sedari tadi terlarut dalam lamunan. Tak menunggu lama, ia beranjak masuk kedalam rumah. Kakinya terus melangkah mencari sumber suara.

"Kenapa, Yah?" tanyanya ketika mendapati Yudha berada di dapur.

"Kamu masak tumis kangkung lagi?" sinis ayahnya.

Jevan mengangguk mantap. "Iya, Yah. Memang hanya itu yang ada di kulkas. Ada bahan-bahan membuat sup, tapi itu untuk besok. Jevan belum mendapatkan gaji, untuk sementara waktu kita makan seadanya."

"Setelah gajian nanti, Jevan janji akan masak makanan kesukaan Ayah," lanjutnya berusaha meyakinkan ayahnya.

Yudha berjalan mendekati Jevan. Menendang tulang kering sang anak hingga membuat sang empunya terjatuh sebab tak siap mendapatkan 'hadiah' malam ini.

Ringisan pelan tak membuat pria paruh baya itu mengentikan aksi penyiksaan pada Jevan. Tak hanya tulang kering yang menjadi sasaran utamanya, namun juga bogeman di wajah dan tendangan diperut. Matanya menggelap, tak peduli jika putranya akan sekarat.

"Dimana kamu menyimpan uang?" tanya Yudha. Ia menegakkan badannya, menatap datar Jevan yang meringkuk kesakitan di atas dinginnya lantai.

"Je... Jevan belum ga...jian, Yah," jawabnya terbata seraya menahan sakit di sudut bibirnya.

Tak puas dengan jawaban yang didapatnya, Yudha berjalan meraih sapu yang terletak tak jauh darinya. Gagang sapu tersebut ia gunakan sebagai alat pelampiasan kemarahannya. Ia memukuli Jevan tanpa ampun, tak peduli dengan ringisan serta ucapan maaf yang dilontarkan padanya.

"Sejak kapan kamu berani berbohong dan membantah saya?" Kini pukulannya beralih pada paha. "Seharusnya kamu tahu diri. Dulu saya yang membiayai hidupmu, sekarang sudah menjadi tugasmu untuk menggantikan peran saya mencari nafkah!"

"Ayah, ma...maaf," lirih Jevan. Hanya kalimat itu yang dapat ia ucapkan. Menghindari pukulan sang ayah pun tidak mungkin.

"Besok dapatkan uang yang banyak!" Sapu tersebut dihempaskan begitu saja. "Ingat! Saya berbaik hati menampung anak haram seperti kamu, setidaknya berikan semua uangmu sebagai bentuk balas budi atas kebaikan yang selama ini saya berikan!"

Puas dengan apa yang dilakukannya hingga membuat korban meringkuk kesakitan, Yudha beranjak pergi keluar rumah. Langkahnya terhenti tak jauh dari Jevan, menoleh ke arah anaknya yang sibuk bangun dengan menahan sakit di sekujur tubuhnya. Dadanya terasa nyeri diiringi dengan matanya yang memanas, bagaimanapun ia memiliki rasa iba walau sedikit. Namun, kebencian pada seseorang berhasil membuatnya memiliki sikap kasar seperti ini. Ia menggeleng pelan dan segera hengkang dari situ.

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang