"Hal paling indah yang pernah dilakukan ialah menatap langit dan berharap Tuhan memberikan selimut hangat ketika saya lelah."
***
Pandangan Jevan menyapu setiap sudut kantin. Sedikit tak menyangka jika ia akan menghabiskan waktu istirahat di kantin. Biasanya, ia hanya singgah di tempat tersebut jika salah satu teman sekelasnya memberikan perintah padanya untuk membeli minuman. Konsekuensi menolak? Maka dirinya kembali di risak.
"Heh! Kata bapak gue, nggak baik berdiri di tengah pintu. Ntar kita berdua nggak berjodoh," ujar Louren seraya menarik paksa Jevan.
Gadis itu menekan bahu Jevan agar duduk di bangku yang sudah ia pilih. "Nah, lo duduk di sini. Gue mau ambil makan."
"Biar saya saja," tolak Jevan.
Senyuman manis terpatri di wajah cantik Louren. Dalam hati ia mengutuk tubuhnya sebab tak bisa mengontrol diri di hadapan Jevan. Mendengar suara lembut dan senyum lelaki itu saja membuat kinerja jantungnya tak beraturan, apalagi mendapat perhatian lebih? Mungkin Louren akan pingsan di tempat.
"Saya ambilkan sebentar," ujarnya lalu bergabung dengan beberapa murid yang mengantri.
SMA Cendrawasih selalu memberi fasilitas terbaik untuk semua muridnya. Dari makanan hingga fasilitas lainnya terpenuhi di sekolah tersebut. Terlebih bagi murid yang notabene-nya anak donatur terbesar di sekolah, membuat semua guru dan staff mengistimewakan mereka.
SPP yang begitu fantastis membuat siapapun yang hendak mendaftar di SMA Cendrawasih harus menyiapkan banyak uang setiap bulannya. Sedikit keberuntungan bagi Jevan karena mendapat beasiswa. Namun, ia sedikit kurang nyaman dengan lingkungan pertemanan di sekolahnya yang membeda-bedakan setiap orang melalui jabatan dan kasta keluarga.
Jevan menghela napas pelan, ia juga mendapatkan jatah makan. Namun, malas rasanya jika saat makan ada saja yang mengganggunya. Mengadu pada guru? Semua terasa sia-sia, tidak ada tindakan apapun dari sekolah mengingat ia hanya anak beasiswa.
"Kenapa lo sering ngelamun?"
Kedua mata Jevan mengerjap pelan. Terkejut saat mendapati Louren berdiri tepat di sampingnya. "Kamu ngapain di sini? Kenapa nggak nunggu?"
"Lo gimana bawanya? Pasti susah, jadi gue ikut antre. Gue di depan lo, ya."
Jevan mengangguk. Membiarkan gadis itu berdiri di depannya. Terlalu lama melamun membuat antrian di depan Jevan sedikit lenggang. Ah, benar kata Louren. Sepertinya ia terlalu sering melamunkan hal yang sedikit tidak penting.
Usai mendapat makanannya, Jevan dan Louren mencari meja yang kosong. Langkah Jevan terhenti. Di depannya sudah ada Daniel dan Ozi dengan senyum yang sulit diartikan. Sedangkan Gaven dan Arghi duduk tak jauh dari kedua temannya itu, sibuk menghabiskan makanannya masing-masing.
"Eh ada neng Louren. Mau gabung?" tawar Daniel mengedipkan sebelah matanya.
Louren merotasikan kedua matanya jengah. Buaya rawa akan segera beraksi. "Mata lo kenapa?"
"Kelilipan cinta neng Louren," balas Daniel tersenyum genit.
"Ayan lo?" tanya Ozi yang dibalas decakan oleh Daniel.
"Satu titik dua koma, eneng cantik siapa yang punya?"
Louren bergidik ngeri. Tatapan Daniel tidak ada bedanya dengan om-om di luar sana yang haus kasih sayang. "Satu titik dua koma, Louren cantik Bae Jinyoung yang punya."
"Buah kelapa dalam kereta, pertama jumpa langsung cinta." Menyerah? Bukan Daniel namanya. Ia yakin jika gadis itu akan baper.
"Sorry, gue cari cowok yang tampangnya imut-imut bikin rindu. Bukan tampang playboy minta dijadikan tumbal pesugihan," sinis Louren. "Minggir lo berdua, merusak pemandangan aja berdiri di tengah jalan. Cosplay jadi monumen selamat datang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jevandra
Teen Fiction"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan membenarkan kalimat tersebut. Obat penyembuh luka yang sengaja ditorehkan padanya ialah dengan cara tersenyum dan belajar memaafkan. Bersik...