Dua Puluh Enam

84 5 0
                                    

Bukankah seharusnya aku pergi jika semua orang tidak pernah mengharapkan kehadiranku?

***

"Jevan tengah berada di rumah sakit. Dia koma karena melompat dari atas gedung sekolah. Aku harap kau dapat menjenguknya."

"Anak sialan itu ternyata sedang sekarat, pantas saja tidak pulang dan memberiku uang." Pria itu terlihat frustasi. "Mesin uangku tidak lagi bekerja."

"Cabut semua alat medis yang terpasang di badannya. Percuma mempertahankan orang gila sepertinya, aku akan bahagia apabila dia mati," lanjutnya tenang seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa usang di ruangan kecil itu.

"Jevan tengah melawan rasa sakitnya, dimana hatimu? Tidak perlu memikirkan biaya rumah sakit karena semuanya sudah ditanggung, tugasmu hanya menjenguknya," balas pria berjas hitam, Rama. Ia berusaha mengakrabkan diri dengan orang asing di hadapannya agar mudah membujuk untuk menjenguk Jevan.

Sepulang bekerja, Rama menyempatkan diri untuk bertamu ke rumah Jevan. Tidak sulit mencari alamat rumah kontrakan tersebut sebab memiliki tangan kanan yang dapat diandalkan. Beruntung ia tiba tepat waktu. Jika terlambat satu menit saja, mungkin ayah Jevan–Yudha–sudah pergi entah kemana.

Yudha menaikkan sebelah alisnya. "Apakah raut wajahku terlihat peduli? Kurasa kau sangat paham. Pergilah! Aku menyesal menerima tamu sepertimu."

"Sikapmu sangat tidak mencerminkan orang berpendidikan," cibir Rama meletakkan kartu namanya di atas meja lantas bangkit. "Permisi."

Pria dengan pakaian lusuh itu menghela napas kasar. Melirik ke arah kartu nama yang diletakkan Rama di atas meja. Tangannya terulur meraih benda tipis itu lantas membacanya. Senyum di bibirnya terbit tatkala mengetahui bahwa pria berjas yang baru saja bertamu adalah orang dari kalangan atas. Bayangan uang seakan menari di atas kepala Yudha mengetahui tamu tadi.

"Aku dapat memanfaatkannya."

***

Setelah duduk dengan tenang di dalam mobil, Rama memerintahkan sopirnya melajukan mobil menuju rumah sakit. Selama perjalanan, pria itu lebih tertarik menatap ke arah luar jendela dibanding bergelung dengan tablet yang menampilkan banyak grafik dan berakhir kepalanya berdenyut nyeri.

Ingatannya terlempar beberapa menit yang lalu, tak habis pikir dengan respon pria berstatus sebagai ayah Jevan. Bagaimana bisa ada orang tua menantikan kematian anaknya sendiri? Ingin rasanya menimpuk Yudha dengan sepatu mahal yang ia pakai agar pria itu sadar akan perkataannya sendiri. Hatinya sedikit menyesal karena tidak mau mendengarkan perkataan putrinya. Ah, tidak! Bagaimanapun keluarga Jevan harus mengetahui kondisi remaja laki-laki yang menjalani perawatan intensif saat ini.

"Tuan, apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran hingga melamun?"

Suara itu berhasil menarik Rama dari alam bawah sadarnya. Ia berdecak mendengar kalimat formal itu terlontar dari seseorang yang duduk di samping kursi kemudi. "Jangan berbicara formal ketika di luar jam kerja, Varel. Kamu hanya utusan temanku, bukan sepenuhnya bawahanku."

"Maaf, Tuan. Saya hanya bersikap profesional," jawab Varel lantas keluar dari mobil dan membuka pintu samping Rama. "Silahkan."

"Setelah misi kita selesai, lihat saja nanti!" Tatapan penuh ancaman itu mengarah pada Varel yang membungkukkan badannya. Tanpa berniat mengeluarkan kata lagi, Rama berlalu begitu saja. Atasannya itu marah hanya karena ia tidak bisa bersikap santai. Ada-ada saja, pikirnya.

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang