Dua Puluh Empat

87 6 0
                                    

Bantu comment dan vote, ya
Jangan lupa juga share cerita Jevandra ke teman-teman kalian🍓

***
Sebaik apapun kamu menyembunyikan sebuah bangkai, suatu saat akan tercium.

***

Sesuai dengan perkataannya, Louren kembali menemui pak Omar di ruang BK setelah menyelesaikan makan siang. Ia terkekeh sinis saat tidak melihat sang guru di tempatnya. Guru lain yang berada di ruang tersebut mengatakan bahwa pak Omar keluar karena ada urusan mendesak.

"Sungguh." Louren menggeleng tak habis pikir menatap meja pak Omar tanpa penghuninya. "Terlalu jelas untuk menghindar dari masalah Jevan."

"Semua kebusukan SMA Cendrawasih akan terungkap," gumam Louren dengan tangan terkepal di kedua sisi tubuhnya.

Keluar dari ruangan tersebut tanpa mendapat jawaban yang pasti. Gadis itu memilih berdiam diri di perpustakaan. Maniknya menyapu seluruh ruangan penuh dengan buku. Sejak kepindahannya ke SMA Cendrawasih tepat pada awal semester dua, ini adalah pertama kalinya ia secara sukarela mau menginjakkan kaki di perpustakaan. Sejak dulu ia enggan masuk ke perpustakaan apabila bukan dari perintah guru, perpustakaan adalah tempat terkutuk bagi seorang Louren.

Duduk di salah satu bangku pojok perpustakaan. Tangan kirinya menumpu dagunya, sedangkan tangan kanan diletakkan di atas meja. Sayup-sayup ia mendengar kedua orang yang tengah berbincang. Ah, kedua siswi yang duduk berhadapan di depannya. Tak banyak pengunjung perpustakaan saat ini, membuat Louren lebih mudah menguping.

"Benar. Sekolah kita nggak pernah terlibat masalah apapun di luar sana. Justru sekolah memiliki masalah sendiri dengan orang yang berada di dalamnya," ujar salah satu siswi dengan rambut kecoklatan menanggapi temannya.

Gadis yang duduk di depan temannya mengangguk setuju". Antara guru dengan murid yang derajatnya lebih rendah dibanding anak yang orang tuanya berpengaruh di sekolah, selalu berbeda pendapat."

"Lebih tepatnya perlakuan terhadap murid terlalu jelas, antara kaya dan miskin," ralat gadis dengan rambut kecoklatan itu.

Louren bangkit dengan hati-hati dan mengambil buku secara random lantas kembali duduk di tempatnya. Menundukkan kepala seolah sibuk membaca buku agar kedua orang itu tidak curiga ia menguping. Louren memasang baik-baik telinganya agar tidak terlewat sedikitpun.

"Banyak rumor selama kita sekolah di sini. Ayah Ayden yang menyogok pihak sekolah agar anaknya mendapatkan nilai tertinggi seangkatan. Arghi melakukan tindakan kekerasan pada guru BK. Masih banyak lagi deh sampai gue lupa kasusnya apa aja," lanjutnya.

"Paling mencekam itu saat kita selesai ujian kenaikan kelas, kita dapat kabar tentang pembunuhan Naren di salah satu kelas kosong. Gila sih, sampai sekarang sekolah tetap tutup mulut. Kita bahkan nggak tahu siapa pelaku dan apa motifnya," timpal temannya.

"Jangan dibahas lagi masalah pembunuhan Naren. Gue trauma dengarnya. Sekolah juga memaksa kita tutup mulut, bisa di depak dari sekolah kalau masalah ini bocor." Bangkit dari duduknya dan mengembalikan buku pada rak kecil khusus untuk mengembalikan buku yang selesai dibaca. "Balik ke kelas, yuk."

Pembunuhan? Batin Louren. Tangannya merogoh saku rok seragam. Jarinya sibuk menari di atas keyboard, mengetik kata kunci yang dapat menjadi petunjuk di aplikasi pencarian.

Kasus pembunuhan SMA Cendrawasih

Tragedi pembunuhan SMA Cendrawasih

Pembunuhan siswa SMA Cendrawasih

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang