Tiga Belas

171 9 2
                                    

Bahkan untuk sebuah perkataan yang berhasil melukai hatinya, ia tetap berusaha tersenyum agar terlihat baik-baik saja.

***

Mengerti arah pembicaraan Arghi, lelaki dengan ekspresi datarnya itu menatap langit-langit. "Bunuh, nggak pantas hidup," jawabnya lantas meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan. Ia sudah tidak ingin membaca.

Di tengah rasa sakit kepalanya, Jevan tersenyum getir saat mendengar jawaban bernada acuh dari Ayden. Sehina itukah dirinya hingga tidak pantas untuk hidup. Ia tidak marah bahkan membenci semua orang yang menghinanya, hanya saja perkataan pedas berhasil menyayat hatinya. Bahkan sakit akibat siksaan temannya itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan cacian dan makian yang terus tertuju padanya.

"Semua menantikan kematian lo. Gue nggak sudi harus berbagi oksigen bareng lo dari ruangan yang sama." Tarikan pada rambut Jevan semakin kuat, sontak membuat sang empu mendongak diiringi rintihan.

"NAH!" Sontak mereka terkejut dengan seruan Ettan. "Kita lempar aja dari lantai tiga. Lumayan tinggi nih. Kalau nggak mati mungkin koma."

"Jangan lah, anjir. Ntar nggak ada yang ngebabu lagi di kelas kita." Daniel bersuara.

Baru saja hendak mengeluarkan suaranya, bel masuk berdering. Menimbulkan decakan sebal dari Ozi yang belum puas dengan kegiatannya. Tak ingin membuat curiga guru mapel yang sebentar lagi datang, ia menghempas kasar tangannya yang menarik rambut Jevan. Tanpa sepatah kata pun, Ozi berjalan ke arah bangkunya.

"Ckckck. Gue nggak tega lihatnya. Pasti sakit, kan?" tanya Ettan berlagak seperti orang yang sedang khawatir. "Sabar, ini ujian."

Byurrr

Ettan menumpahkan minuman yang ia pegang ke atas kepala Jevan. "Astaga, gue sengaja. Sorry ya, Jev."

"Jangan lupa dibersihkan." Ettan kembali ke bangkunya, tak lupa melempar kaleng bekas minumannya ke arah Jevan tepat mengenai pelipis lelaki itu.

Hanya Daniel yang tertinggal. Ia menendang kursi Jevan dari samping. Bangku Jevan berada di samping tembok lelaki itu tak siap hingga kepalanya terbentur. "Sakit nggak? Sakit nggak?"

"Sakitlah masa nggak," seru Ozi, Ettan, dan Arghi serempak.

Tak ingin berlama-lama berhadapan dengan Jevan, Daniel memilih untuk membuka pintu dan mengijinkan teman sekelasnya masuk sebelum guru ada yang curiga. Ia tak ingin mendapatkan surat peringatan meskipun sekolah tidak akan berani mengeluarkan dirinya meskipun point di buku catatan siswa miliknya hampir melampaui batas yang ditetapkan.

Satu persatu murid yang sedari tadi berdiri di depan pintu menunggu perintah untuk masuk kelas, kini mulai kembali ke bangku masing-masing tanpa ada yang bertanya apa yang terjadi pada Jevan. Mereka tidak ingin bernasib sama dengan Jevan meski hanya bertanya.

Kedua sudut bibir Jevan tertarik membentuk senyum getir. Ia bangkit dan hengkang dari kelas menuju lokernya untuk berganti seragam. Beruntung pihak sekolah memberi satu persediaan seragam di loker untuk muridnya jikalau sesuatu terjadi dan mengharuskan berganti seragam.

Jevan merapalkan kalimat penenang untuk dirinya sendiri. Ia tak ingin jika hatinya menimbulkan rasa benci atas perilaku teman-temannya. Sejauh apapun mereka menyiksa, Jevan tidak akan menganggap serius. Dirinya memaklumi sikap temannya karena yakin jika suatu saat semuanya akan berubah lebih baik.

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang