Dua Puluh Dua

84 6 0
                                    

Bahkan untuk sebuah kata 'kehilangan', ia seakan baik-baik saja.

***

"Bagaimana, Yah?" tanya Liam saat melihat sang ayah baru saja menginjakkan kakinya di ruang luas itu. Lelaki itu baru datang ketika ayahnya memberi kabar dan Louren mengirimkan lokasi rumah sakit tempat Jevan dirawat.

Rama menjatuhkan dirinya di sofa. Meletakkan kepalanya di bahu sang istri. "Setelah berbicara dengan dokter dan polisi, hasilnya menunjukkan bahwa Jevan melakukan percobaan bunuh diri dengan cara melompat dari atap gedung."

"Polisi menemukan dua botol minuman keras di tempat kejadian. Di antara kedua botol, satu masih tersegel. Satu lagi sudah tandas sebab Jevan meminumnya lalu lompat hingga terjatuh tepat di atas mobil salah satu tamu SMA Cendrawasih," lanjutnya.

Louren yang sedari tadi duduk di sebelah bangsal Jevan dan hanya mendengarkan perkataan ayahnya, kini menoleh. "Jevan nggak mungkin menyentuh minuman itu. Lagipula, dia membeli dua botol minuman itu darimana?"

Mengangguk setuju atas ucapan adiknya, Liam berjalan mendekat ke arah bangsal Jevan. Menatap teman adinya yang seakan tengah tidur nyenyak bersama alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya. "Polisi sudah cek CCTV?"

"CCTV tidak berfungsi sejak kemarin, tapi tim keamanan yang berjaga di ruang CCTV belum sempat melapor pada kepala sekolah karena menganggap bahwa mereka dapat mengatasinya dengan cepat," jelas Rama dengan wajah lesunya.

Vinja merasa suaminya sangat kelelahan karena sejak siang hingga menjelang malam tampak sibuk mengurus banyak hal terkait Jevan, tangannya tergerak mengusap rahang sang suami. "Kita pulang saja. Biarkan keduanya menjaga Jevan. Lagipula ada beberapa penjaga di depan ruangan ini dan area lobi. Besok kita lanjutkan kasus ini."

"Ayah pulang aja. Nanti Louren sama Bang Liam bergantian kalau mau pulang untuk mandi." Louren berucap namun tatapannya enggan teralihkan dari wajah penuh luka Jevan.

Mau tidak mau Rama menuruti. Malam ini biarkan dirinya istirahat agar besok dapat melanjutkan penyelidikan, berusaha menemukan dalang di balik semua ini. Sungguh, ia sangat yakin bahwa Jevan tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Meskipun hanya sekali bertemu teman dari putrinya, Jevan sudah ia anggap layaknya keluarga sendiri. Terlebih hidup dengan seorang ayah yang tidak memiliki rasa kepedulian sedikitpun, membuat keluarganya sangat nyaman dengan kehadiran Jevan.

"Liam nggak akan pergi nongkrong, Yah." Liam merotasikan kedua bola matanya jengah, mengerti dengan tatapan intimidasi sang ayah.

Sepeninggalan kedua orang tuanya, Liam merebahkan dirinya di sofa. Menatap langit-langit ruang inap seolah menerawang kejadian yang menimpa Jevan. Kedua tangannya terlipat ia gunakan sebagai bantal. "Untuk makan aja Jevan susah, apalagi untuk beli minuman keras."

"Tidur di kasur sana," ujar Louren yang mengira Liam hendak tidur. Ruangan ini memang sangat lengkap, Rama sengaja memindahkan Jevan ke ruang ini agar tenang dan keluarganya pun dapat beristirahat di kamar sebelah yang hanya di batasi dinding tipis sebagai pemisah saja.

"Lo aja sana, pasti capek karena dari tadi nangis."

Gadis itu bangkit dan berjalan ke arah sofa single lantas mendudukinya. "Bang, semalam gue sama Jevan jalan."

"Oh, lo semalam izin keluar karena mau ke tempat kerja Jevan. Kirain mau mangkal di lampu merah," sahut Liam acuh. Ia mengeluarkan ponsel dari saku hoodie-nya lantas membuka aplikasi permainan kesukaannya, pou.

"Gue nggak lagi bercanda." Liam tetap fokus pada ponselnya dan enggan menanggapi perkataan adiknya. "Jevan bertemu bundanya."

Gerakan jari Liam terhenti seketika. Kepalanya sontak menoleh karena sofa yang diduduki adiknya berada di sebelah kepalanya. "Caper banget lo. Gue cuekin, malah ngarang cerita." Lelaki itu kembali fokus pada permainannya di ponsel.

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang