Dua Puluh Tiga

92 5 1
                                    

Bukankah semua orang berhak mendapatkan keadilan?

***

Sang fajar mulai menyapa. Cahayanya masuk melalui celah tirai membuat seseorang merasa terganggu. Perlahan kelopak matanya mulai terbuka seraya beberapa kali mengerjap. Louren, gadis itu menegakkan badannya. Lehernya terasa pegal karena semalam ia tidur dengan posisi duduk di samping bangsal Jevan. Berat rasanya meninggalkan lelaki itu meski hanya ke kamar sebelah dengan dinding tipis sebagai penghalang.

Usai meregangkan badannya, ia bangkit dan berbalik. Menatap seorang lelaki yang tertidur pulas di atas sofa. Hari ini Louren akan pergi bersekolah. Bukan karena ingin menjadi siswi rajin atau rindu dengan teman-temannya, melainkan untuk mencari petunjuk dari kejadian kemarin.

Semalam Liam sempat pulang untuk membawakan Loure pakaian ganti dan kebutuhan sekolahnya setelah makan malam di kantin rumah sakit. Pagi ini giliran bundanya yang akan menemani Jevan. Ia akan pergi ke sekolah dan Liam ada kelas di pagi ini.

Usai bersiap diri, Louren membangunkan kakak laki-lakinya yang masih saja terlelap di sofa. Semalam ayahnya telah memberi perintah bahwa Liam harus mengantar Louren ke sekolah, melihat keadaan putrinya yang masih sangat kacau membuat pria itu tak berhenti untuk khawatir.

***

"Lo yakin hari ini sekolah? Tubuh lo kelihatan nggak ada tenaganya," ujar Liam melihat sang adik tampak tidak seperti biasa.

Louren menyodorkan helm yang tadi ia pakai kepada Liam. "Setelah ini gue ke kantin buat sarapan. Nggak perlu khawatir, jatuhnya alay."

Kesal dengan perkataan adiknya, Liam sengaja menarik beberapa helai rambut panjang itu hingga membuat sang empu menatap nyalang. "Harus sopan sama yang tua, sini sungkem dulu."

"Bacot!" hardik Louren melangkah masuk tanpa menghiraukan ocehan Liam layaknya emak-emak pengendara motor yang hobi mengomel.

"LOUREN!" teriak Heera yang hendak turun dari mobil. Tidak lupa seorang lelaki yang menjadi pengawalnya berdiri di samping mobil. "Kalian bisa pergi."

Merasa ada yang memanggil, Louren berbalik. Gadis itu mengerjap pelan saat temannya sudah seperti putri keraton. Sedetik kemudian ia menepuk pelan keningnya sendiri, lupa jika temannya itu memang masih memiliki keturunan darah biru yang kental. Mengingat saat melakukan kegiatan apapun, Heera tampak sangat lembut dan hati-hati.

"Lo turun dari mobil aja harus dipegang sama pengawal. Takut oleng atau gimana?" tanya Louren penasaran.

Heera yang baru saja datang menghampiri Louren harus mendengarkan ocehan temannya. "Semua keluarga gue juga gitu, lupain. Lo udah dengar berita tentang Jevan?"

Mendengar pertanyaan itu, mimik wajah Louren berubah dalam hitungan detik. Maniknya menatap kosong ke arah bawah. "Jevan koma. Benturannya terlalu keras," lirihnya.

"Tau dari mana lo?" Keduanya menoleh ke sumber suara. Litha, gadis itu baru saja datang dari arah samping sekolah usai memarkirkan mobilnya.

Heera menatap heran ke arah temannya. "Lo ngapain nyusul kita? Lewat pintu masuk sebelah parkiran bisa."

"Pengen aja," jawabnya seadanya. "Pertanyaan gue belum di jawab."

"Keluarga gue yang jagain Jevan semalam," ujar Louren berjalan meninggalkan kedua temannya.

"JALAN BARENGAN, FLOURENZYA!" teriak Heera mengejar langkah cepat Louren.

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang