Empat

252 11 0
                                    

Disaat sedih, rapuh, dan hancur, hanya kamu yang mengerti dirimu sendiri.

***

Jevan melangkahkan kakinya di koridor saat pulang sekolah. Tak jauh darinya, terlihat Louren yang berlari dengan sekuat tenaga menyusul cogannya itu.

"Woy, cogannya Oren!"

Mendengar suara familiar itu, sontak Jevan menghentikan langkahnya. Menoleh ke arah belakang. "Ada apa?" tanyanya pada Louren yang baru mengatur napasnya.

"Kuy beli cilok, mungkin abang ciloknya lagi mangkal di taman kota."

Lelaki itu memainkan lidahnya di rongga mulut. Memikirkan jawaban yang pas untuk gadis unik di depannya. "Eum, sepertinya lain kali. Bagaimana jika kita pergi saat saya libur kerja?"

"Oh, lo kerja part-time?" Jevan mengangguk sekilas.

"Kalau lo libur, kita harus main bareng. Gue pulang dulu. Bye, cogannya Oren." Louren menyunggingkan senyum manisnya lantas berjalan meninggalkan Jevan.

Jevan menggeleng pelan memerhatikan punggung Louren yang semakin jauh. Ia sedikit tak yakin dengan gadis itu yang secara suka rela ingin berteman dengannya, mengingat banyaknya orang yang tak menyukai kehadirannya.

Seperti saat ini contohnya, tak sedikit murid SMA Cendrawasih yang menatap aneh ke arah Jevan. Entah apa yang mereka pikirkan terhadap kehidupannya. Berlagak menghiraukan bisikan tak mengenakkan, Jevan bergegas pulang. Selepas mengganti pakaiannya nanti, ia akan bekerja seperti biasanya.

Ia kembali mengurungkan langkahnya saat tak sengaja melihat seonggok sampah plastik makanan ringan yang tergeletak di tengah koridor tanpa ada yang berniat membuangnya. Lelaki itu memungut sampah tersebut lalu memasukkan ke tempat sampah tak jauh darinya.

"Lihat. Sampah kok mungut sampah," bisik seorang siswi, namun mampu didengar jelas oleh Jevan.

"Ck, caper. Mana ada yang mau ngelirik dia," timpal satunya.

"Gue kalau jadi dia pasti milih bunuh diri. Bayangin coba gimana rasanya kehadiran kita gak dianggap oleh semua orang, pasti bawaannya pengen ngedekem di kamar, kan?" timbrung siswi lainnya dengan nada berbisik.

"Udah ah jangan ngomongin dia. Gak guna juga gibah anak haram yang gak jelas asal-usulnya," ujar siswi yang tadi memulai pembicaraan terlebih dahulu. "Udahlah pulang aja."

Jevan tersenyum getir. Jauh di lubuk hatinya, ia merasakan sakit yang begitu dalam. Kesalahan apa yang ia buat hingga diperlakukan seperti itu? Semua kehidupannya tidak ada sangkut pautnya dengan orang di luar sana. Mengapa mereka menghakimi tanpa tahu awal dari masalah yang menimpanya?

Sungguh, ia butuh bundanya yang sedari dulu menjadi tempat bersandar. Jevan juga butuh penjelasan dari ayahnya mengenai suatu hal, namun lagi dan lagi dirinya tak cukup memiliki keberanian.

"Bagaimana rasanya dijauhin oleh semua orang tanpa ada sosok pelindung?"

"Ayden," lirih Jevan.

Ayden melayangkan tatapan mengejek. "Manusia kayak lo gak pantas ada di sini. Jangankan semua murid di sekolah, bokap lo aja nggak sudi ngelihat wajah lo itu."

"Seharusnya lo sadar. Mau berapa lama lagi harus menutup telinga saat mendengar semua perkataan orang lain? Sebaiknya lo pergi jauh sampai semua orang nggak tau kalau lo anak haram yang dilahirkan dari rahim seorang jalang," lanjutnya.

Rahang Jevan mengeras. Kedua tangan nya mengepal di sisi badannya. Beruntung ia pandai mengontrol emosi agar tak meledak saat itu juga. "Kamu berhak menghina saya, tapi bukan berarti menyebut bunda saya sebagai jalang, Ayden."

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang