Dua Puluh

100 7 0
                                    

Tuhan tak pernah ingkar, yang dijanjikan-Nya untukmu akan di tepati-Nya di waktu yang tepat.

***

"Hubungi Daniel," titah Gaven.

Beberapa kali Ettan menghubungi Daniel, namun tidak ada jawaban dari temannya itu. Bahkan ia telah mengirimkan banyak pesan, baik melalui chat pribadi maupun grup.

"Daniel belum datang?" tanya Ozi yang baru tiba. Tadi ia melihat Arghi memberi isyarat melalui lambaian tangan agar dirinya turut bergabung dengan mereka, sayangnya seorang gadis tak ia kenal menyapa dan mengajak berbincang.

"Belum datang," jawab Arghi menyendok sesuap kue ke dalam mulutnya.

"Sudahlah, kita tunggu. Lagi pula om Bryan belum terlihat batang hidungnya," ujar Gaven mencoba bersikap santai.

"Om Bryan datang. Gue lihat di depan," sahut Ozi.

Gaven termenung, yakin jika sesuatu telah terjadi pada Daniel. Terlebih mengenai kasus di sekolah, temannya itu pasti sedang tidak baik-baik saja. Sudahlah, nanti ia akan bertanya langsung kepada ayahnya Daniel.

***

Jalanan malam saat ini tampak begitu lenggang. Sudah beberapa kali Ayden memainkan jendela mobil hingga membuat pria dengan usia terpaut jauh darinya mendengus pelan.

"Duduklah dengan tenang, Ayden," tegur Adit.

Seperti biasa, tidak ada pembicaraan ringan antara keduanya. Adit yang sibuk dengan tab di tangannya. Tidak mungkin Ayden mengajak sopirnya bercengkrama, mengingat bagaimana ayahnya melarang keras untuk banyak berinteraksi dengan pekerjanya.

Lagi-lagi masalah kasta. Adit adalah tipikal orang yang sangat pemilih dalam berinteraksi. Melarangnya untuk tidak perlu terlalu sopan dan banyak bicara kepada para pekerja mereka di rumah. Alasannya karena kedudukan mereka tidak sama. Terlebih sejak dulu Adit selalu mengurungnya di dalam ruang belajar untuk membaca setumpuk buku bersama guru privat yang mengawasi.

"Apa ini, Ayden? Ayah mendapat laporan dari wali kelasmu perihal nilai tugas. Mengapa nilaimu tidak sempurna?" cerocos Adit.

Berdecak keras seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Sembilan puluh delapan, itu nilai yang cukup baik."

"Bagaimana bisa kamu kalah dari Jevandra dan Heera? Nilaimu setara dengan Gaven," sungut Adit tak terima sembari terus melihat nilai murid XI MIPA lainnya.

"Ayolah, itu hanya tugas kemarin. Masih banyak tugas lain kedepannya." Ayden merotasikan kedua matanya jengah.

"Tambah waktu belajarmu. Jangan sampai kamu kalah dari putra Agam," tegas Adit. "Seperti ini sama saja kamu mempermalukan Ayah di depan keluarga Danadyaksa nanti."

"Iya." Hanya kata itu yang bisa Ayden ucapkan. Melawan ayahnya saat ini tidak mungkin. Ia masih waras untuk tidak merusak suasana hati sang ayah saat mereka hendak menghadiri acara keluarga Gaven.

"Jangan berteman dengan siapapun. Jika mendapatkan teman, maka kamu harus siap dimanfaatkan. Orang yang datang dengan mengatasnamakan 'pertemanan' hanyalah omong kosong, tujuannya hanya ingin memanfaatkan kepintaranmu." Adit meletakkan benda persegi tersebut di sebelahnya. "Semester dua ini kamu harus berada di peringkat teratas."

"Ayah harap kamu paham dengan semua ini," ujar Adit menutup percakapannya lantas kembali menyibukkan diri sebelum sampai di tempat tujuan.

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang