Kamu berhak berpikir untuk berhenti dan menyerah. Namun kata "pergi" bukanlah pilihan yang tepat. Tuhan memberimu rasa lelah, maka istirahatlah sejenak sebelum kembali berjuang.
***
"SEMUA BANGSAT!"
Rama yang sedang sibuk dengan laptop dan beberapa berkas menoleh ke arah pintu utama yang dibuka dengan kasar. Tak lupa dengan nyanyian absurd anak bungsunya. Ia mendelik saat Louren berdiri di ambang pintu sembari melepas sepatu lantas melempar sembarangan.
"Bercanda." Louren tersenyum manis.
"Apaan bangsat-bangsat. Siapa yang ngajarin? Nyanyi yang benar. Nggak sopan bilang bangsat di depan orang tua," tegur Rama lalu kembali berkutat dengan kerjaannya.
Gadis itu menjatuhkan dirinya di samping sang ayah. Kedua sudut bibirnya tertarik hingga membentuk senyum jahil. "SEMUA BANGSAT!"
"LOUREN!" teriak Rama frustasi. Gadis itu sungguh menguji kesabaran orang sekitar.
"Bercanda," lanjut Louren diiringi cengiran.
"SEMUA BAIK, NGGAK JUGA."
"GUE BENCI INGAT MANTAN GUE-"
bugh!
"Emang kamu punya mantan?" sindir Vinja setelah menimpuk putrinya dengan bantal sofa.
"Bersoda sekali si Vinja!" Gadis itu mengusap pelipisnya. Lemparan maut sang bunda tidak main-main sakitnya.
Wanita paruh baya itu mendelik. "Heh! Nggak sopan manggil nama doang."
"Berdosa, Ren. Ngaak pernah dilatih ucap baik gitu tuh, typo terus tuh mulut," cibir Rama.
"Lagian Louren belum selesai nyanyi." Louren menarik napasnya pelan sebelum mengulangi nyanyiannya. "Semua-"
"Diam, Ren. Ayah lagi kerja ini."
"Yang bilang Abi lagi tiktokan teh saha?"
"Belum aja Ayah depak kamu dari KK."
Louren merotasikan kedua bola matanya malas, ayahnya tidak seru! Ia harus mencari target berikutnya. Manik mata itu melirik bundanya yang duduk di sofa single seraya membaca majalah. "Umi, tolong ambilkan minum dong, haus nih. Nggak banyak kok, cuma jus jambu dengan camilan sebagai pelengkapnya."
"Soffan kah menyuruh orang tua padahal kaki lo masih bisa digunakan?" Suara itu berasal dari Liam yang baru saja masuk.
"Kan minta tolong," sahut Louren tak mau disalahkan.
Lelaki dengan kemeja flanel yang sudah kusut itu menghempaskan tubuhnya di samping Louren. "Jangan mancing keributan lo. Masih mode sabar nih gue."
"Lo dari mana? Masa parkir mobil harus naik gunung lewati lembah, lama banget."
"Habis godain sebelah," jawab Liam santai. Menggoda janda muda yang tinggal tepat di sebelah rumahnya adalah rutinitas seorang Liam yang tak pernah absen. Bahkan ia sendiri mengakui jika tertarik dengan tetangganya itu yang sudah menjadi janda sekitar satu tahun terakhir ini, benar-benar gila!
Mulut Liam dan Louren sepertinya harus dilatih untuk diam meski hanya satu menit. Pasalnya, keduanya kembali berbicara panjang lebar tanpa mengenal lelah. Kurang bersyukur bagaimana lagi Rama memiliki anak ajaib seperti Liam dan Louren? Haruskah ia ke psikiater untuk memeriksakan kejiwaan kedua anaknya itu? Jujur, dirinya terkadang lelah menghadapi tingkah keduanya yang tidak pernah menjadi kalem seperti dirinya.
Rama memijit pangkal hidungnya pelan. "Bun, tolong ambilkan map warna biru di kamar."
Vinja mengangguk dan beranjak menuju kamar untuk mencari map yang dimaksud sang suami. Dirasa isterinya sudah masuk kamar, Rama melirik kedua anaknya yang sibuk bertengkar dengan saling menendang dan memukul satu sama lain. Ia menatap nanar keduanya, lelah melihat tingkah mereka yang tak pernah bisa diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jevandra
Teen Fiction"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan membenarkan kalimat tersebut. Obat penyembuh luka yang sengaja ditorehkan padanya ialah dengan cara tersenyum dan belajar memaafkan. Bersik...