19. Terjebak

452 51 20
                                    


Dering telepon mengalihkan sejenak keresahanya. Ervan menatapi senyum menawan Trisha dari layar ponselnya yang menyala, sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. "Halo?"

"Hei, udah sampai rumah?" Suara gadis itu terdengar lembut di seberang.

"Udah."

"Di jalan hujan nggak?"

"Enggak, tapi tetep aja dingin."

Dari seberang telepon tawa gadis itu terdengar. "Kasihan, pacar aku."

"Iya, nih nggak ada yang meluk dari belakang."

Lagi-lagi Ervan mendengar suara gadis itu tertawa kecil.

"Kamu belum tidur?"

"Belum, pengen nelepon kamu dulu." Ada jeda sejenak dalam obrolan. "Abis ketemu Mama, Papaku, menurutmu gimana mereka?"

Ervan membisu untuk sesaat. Mengingat kembali amanat Admaja yang disematkan padanya. "Mama, papamu ramah. Orang tua yang sangat memikirkan kebahagian anaknya melebihi apa pun."

Di hadapan orang tua Trisha, Ervan merasa sama sekali tidak ada jarak. Justru mereka memperlakukan Ervan dengan baik, dengan sebagaimana mestinya. Meski Ervan tahu, ia tidaklah setara dengan keluarga ini. Hal-hal yang menyangkut status sosial semacam itu sepertinya hanya nomer sekian dari perhatian mereka. Ervan mengerti kenapa Trisha begitu ramah, sopan, dan baik hati, itu pasti tidak luput dari didikkan orang tuanya. Lalu apa kabar dengan Tristan?

"Jadi, jangan merasa nggak layak lagi, ya. Keluargaku bukan keluarga yang memandang seseorang dengan materi dan status sosial di urutan pertama. Orang tuaku lebih melihat ke attitude, pembawaan dan terlebih ketulusan seseorang."

Kalimat demi kalimat yang terlontar dari Trisha membuat lawan bicaranya kehilangan kata-kata. Ada rasa campur aduk di sana. Seandainya saja pertemuannya dengan Trisha bukanlah suatu yang sengaja direncanakan. Seandainya saja Trisha bukanlah adik dari Tristan. Seandainya saja tidak ada dendam yang harus dibalaskan.

"Van? Kamu masih di situ?

"Ya."

"Kok, diem?"

Ada helaan napas pendek sebelum Ervan kembali membuka suara. "Aku ... cuma sedang merasa beruntung."

"Beruntung?"

"Beruntung berkenalan dengan keluargamu. Terutama aku beruntung bertemu denganmu, Tris."

"Kayaknya kamu melupakan sesuatu, deh. Aku yang beruntung ketemu kamu, Van. Malam itu, aku nggak tahu apa yang terjadi, kalau kamu nggak datang nyelametin aku."

Ervan menelan ludah kasar. Malam itu, adalah malam eksekusi setelah perencaaan dan persiapan yang panjang. Andai Trisha tahu, kalau semua itu sudah disusun dengan rapi. Andai Trisha tahu kalau malam itu ....

"Semua persiapan udah kelar, Van. Kafe ini sudah siap mengudara besok. Huft! Akhirnya, ya."

Ervan mengangguk, mengedarkan pandangannya pada kursi yang berjajar, lampu kelap-kelip yang menyala, dan container box warna merah di sudut ruang.

"Lo mau ke mana setelah ini?" tanya Adam--teman Ervan yang juga akan menjadi salah satu pelayan di kafenya.

Ervan meneguk kopi espreso-nya terlebih dulu sebelum menjawab, "langsung pulang."

"Ngapain, sih buru-buru amat. Ini belum larut-larut banget, kita ke mana dulu gitu, kek."

Untuk sejenak, fokus Ervan tertuju pada layar ponselnya--membaca sebuah pesan yang kemudian membuatnya buru-buru beranjak dari posisinya.

Jagat Raya Trisha (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang