1.5

2.4K 289 49
                                    

4K words. Awas bosan 😌




hyunjin tidak pernah menyukai perpisahan. baginya rasa yang tertinggal disaat harus berada dalam posisi siap untuk melepas atau pergi selalu membekas di hati dan pikiran.

perpisahan terakhirnya adalah ketika dia harus pergi ke kota untuk menggapai mimpi menjadi seorang penyanyi. dia pamit dengan kedua orang tua dan juga satu adiknya. hyunjin menangis hari itu dan berkata bahwa dia berjanji akan menjadi artis yang sukses di masa depan.

meski kedua orang tuanya memberi dukungan penuh, tetap saja berat hati dirasa. hyunjin tak lagi bisa merawat ayahnya yang sakit atau membantu ibunya berjualan kue, atau mengajari adiknya, jeongin, yang kerap kesulitan mengerjakan tugas rumah.

dia hanya takut, bahwa saat dirinya sedang sibuk meraih impiannya, suatu hal buruk mungkin saja terjadi sementara hyunjin tidak ada disana. pikiran-pikiran semacam itu masih terus menghantui hyunjin bahkan hingga beberapa minggu setelah dia resmi menjadi trainee di agensi half moon.

pernah suatu waktu, 6 bulan setelah hyunjin mengadu nasib ke kota, hyunjin mendapatkan kabar dari sang ibu bahwa ayahnya dilarikan ke rumah sakit. beliau kritis dan butuh penanganan segera dengan biaya yang tidak sedikit. alhasil, tanah simpanan yang awalnya dikelola untuk investasi di masa depan (dan merupakan satu-satunya harta paling berharga setelah rumah mereka) terpaksa di jual.

malam itu hyunjin hanya mampu menangis dengan pikiran dipenuhi kekalutan dan rasa takut. untungnya changbin berbaik hati mau meminjamkan dadanya untuk tempat hyunjin mencurahkan air mata. hingga malam berlalu dan pagi datang menyingsing, changbin tak pernah tau alasan yang membuat pria tampan dengan perpaduan manis itu menangis. hyunjin menolak bercerita.

"sedang memikirkan apa?"

hyunjin tersentak. pandangan kosongnya di alihkan kepada minho yang saat ini sedang duduk bersila di atas lantai sembari memasukkan sisa baju milik hyunjin ke dalam koper. hyunjin sendiri memilih untuk duduk di atas ranjangnya yang telah rapi, siap untuk ditinggalkan hari ini.

"hanya.. pemikiran-pemikiran tidak penting. tapi sepertinya aku menghawatirkan sesuatu." gumam hyunjin. kepalanya menunduk, lebih memilih memandangi boneka kucing hadiah dari minho.

"pemikiran yang bagaimana?" minho bertanya lagi tanpa menghentikan kegiatannya melipat pakaian.

"apa nanti aku masih bisa bertemu dengan kalian? seperti yang hyung tau, aku akan disibukkan merawat bayi ini, aku takut tidak bisa bergabung lagi, aku takut aku akan dikeluarkan, dan aku takutㅡ"

"hyunjin." minho menyela. embusan napas berat terdengar jelas dari bibir merah pria itu, "ㅡkau selalu memikirkan hal-hal negatif. cobalah sesekali untuk mengabaikan apa yang coba otakmu lakukan untuk menakuti dirimu sendiri. kami tidak akan pergi kemanapun, kami selalu ada disisimu kapanpun kau butuh. dan lagi, kau akan selalu disambut kapanpun kau siap untuk kembali. hm?"

perkataan minho membuat hatinya merasa sedikit lega. rasa sesak yang semenjak tadi datang dan membuatnya kesulitan bernapas perlahan-lahan menghilang. hyunjin menggigit bibirnya, tangannya bergerak mengusap perutnya yang membesar.

"hyung janji akan selalu ada disaat aku butuh hyung?"

"ya, kapanpun kau butuh aku."

bunyi klik menjadi pertanda bahwa koper berwarna silver milik hyunjin telah terkunci sempurna. minho bangkit, kemudian mengulurkan tangan bermaksud membantu hyunjin untuk berdiri.

sekarang keduanya saling berhadapan. yang paling tua memilih untuk bergerak maju dan meninggalkan satu kecup ringan di dahi hyunjin.

"hati-hati selama disana. kau harus makan dengan baik agar bayimu terlahir sehat nantinya."

decision | chanjin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang