12. It's Okay To Not Be Okay

81 23 20
                                    

"Menangislah sesukamu, jadikan itu sebagai bentuk kepedulian untuk dirimu yang sedang terluka. Sebab, air mata bukan tercipta hanya untuk orang lemah saja.”

Rintik jatuh menghantam atap bangunan panjang itu, irama tercipta menghasilkan ketenangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rintik jatuh menghantam atap bangunan panjang itu, irama tercipta menghasilkan ketenangan. Hujan memang begitu; membuat nyaman, tapi secara bersamaan, bisa juga mengahdirkan aada sakit. Layaknya seperti jalan hidup Tanaya, ia sangat nyaman dan tidak bohong jika suka dengan keluarga itu. Namun, jika berlama-lama diteruskan, bukan hanya tubuh, hati pun ikut sakit karenanya.

Kelopak mata terbuka perlahan, sorot matanya sayu seperti orang kurang tidur. Bibir yang pagi tadi ia pastikan terlihat segar, kini sudah memucat kedinginan. Bodoh memang bodoh, Tanaya bak orang tidak tahu diri sudah membayangkan jika secara tiba-tiba ada Kaska yang datang dengan rasa khawatir dan membawanya begitu perhatian.

Tanaya hanya bisa terkekeh miris, kenyataan selalu menampar untuk tidak mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi. Rasa amarah, tidak terima, penyesalan, gundah, terus dirasa 24/7 tanpa rehat.

Tiga puluh menit berlalu tanpa terasa, hujan mulai mereda meski belum sepenuhnya menyerah untuk menumpahkan airnya. Tubuh yang mulai menggigil itu beranjak bangun setelah angkutan umum berwarna merah yang ditunggu-tunggu sekian lama, menginjak rem tepat di depan matanya. Si gadis memutuskan masuk dan mengambil duduk paling dekat dengan kaca besar belakang.

Sore dengan gerimis turun, momen paling tepat untuk menyaksikan indahnya jalan raya yang penuh asap dipadupadankan dengan bisingnya kendaraan, Tanaya memalingkan wajah menghadap ke luar jendela. Khusyuk gadis itu mengamati pergerakan para kendaraan yang kelelahan untuk pulang ke hunian, sampai tidak menyadari jika sedari dirinya berada di halte sendirian, ada mobil Jeep hitam mengawasi dari kejauhan.

"Muka lo kenapa damai banget sih, Nay? Tapi dari mata lo kenapa enggak bilang kayak gitu? Lo sebenernya kenapa?" monolog si pengemudi yang tak lain dan tak bukan adalah Kaska Pradewa.

Jarak antar mobil yang Kaska kemudikan dengan angkot yang Tanaya tumpangi hanya berkisar dua meter saja. Sedekat itu, tapi terasa seperti berjarak dua benua. Lebay? Ya begitulah, Kaska dan Tanaya sekarang sudah jauh. Meski, niat dan usaha Kaska lakukan untuk mengikis jarak tak kasat mata.

"Aku suka suara bising kendaraan waktu senja nyapa," katanya waktu itu.

"Kenapa gitu? Bukannya kebanyakan cewek pinter kayak lo biasa suka tempat-tempat sepi yang bikin tenang gitu, ya?" tanya Kaska di balik kemudi.

Tanaya menurunkan kaca di sampingnya hingga setengah, senyum hangat tanpa ragu melengkung indah saat angin sore menerpa kulit wajah. "Karena udah banyak orang pinter lebih nyaman di tempat yang sepi, aku mau beda. Menurutku bisingnya kendaraan bukan gangguan, tapi pengorbanan." Mata Tanaya menutup, selalu seperti itu.

Save Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang