39. Angkat Tangan

48 11 1
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya!!!

"Sebab, sesuatu yang sudah kamu tanam akan tertuai pada masanya."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Situasi yang tidak pernah ia duga-duga sebelumnya, bahkan tersirat bayangan saja enggan pemuda berkaca mata itu pikirkan. Tanpa orang lain ketahui atau lebih tepatnya tidak boleh diketahui orang barang satu pun jika keluarganya tengah menghadapi masalah keuangan.

Brandon membalik halaman buku paket tebal. Sastra Indonesia, begitulah judul bercetak besar di sampul buku berukuran 210×297 mm itu.

Brak.

Dibalik lensa bening, bola mata Brandon merotasi malas. Kepala berpotongan rambut tipis hasil semalam itu mendongak guna melihat sosok penyebab kegaduhan.

"Apa?" tanya Brandon tak bersahabat.

Deri yang duduk di atas meja perpustakaan berdecih ketus. Malas sebenarnya berurusan dengan manusia pongah ini, namun harus ia lakukan demi mengetahui keberadaan Tanaya.

"Gue mau tagih yang kemaren? Udah tahu, 'kan, di mana cewek gue?" tagih Deri.

Embusan napas dilakukan Brandon, kaca mata yang membingkai di pangkal hidung dilepaskan. "Honor gue mana dulu," balasnya ikut menagih dengan telapak tangan mengadah.

"Lo kira gue penipu?" Deri merogoh saku celana hitamnya, mengeluarkan amplop tebal dan meletakkan dengan kasar tepat di atas buku paket yang terbuka. "Kayaknya lo lupa lagi bermitra sama siapa."

Smirk terbit di garis bibir Brandon. Matanya seolah hijau kala mengecek berapa jumlah lembar uang kertas merah muda di dalam amplop cokelat. "Dalam berbisnis harus hati-hati, lah. Gue nggak mau jasa berharga gue dipake tanpa imbalan," tandasnya sembari menyimpan amplop yang sudah ditekuk ke saku kemeja.

Deri menutup buku paket kuat-kuat, masa bodo dengan peraturan tempat gudangnya buku itu perihal dilarang menimbulkan kegaduhan. "Karena udah terima honor, jadi mana jasa lo? Gue juga harus hati-hati kalo pilih mitra."

Brandon menatap malas. "Rumah Kaska," jawabnya.

Mendengar informasi itu, darah Deri mulai mendidih. Sudah ia duga jika Tanaya berada di sana. "Kasih gue alamatnya," pintanya tak sabaran.

"Beda harga." Dengan tenang Brandon berucap.

"Anjir," umpatnya. "Gue tf pulang nanti."

"Oke."

Ponsel terletak di samping buku langsung Brandon sambar, jemari menari di atas keyboard, selang beberapa detik dentingan notifikasi masuk dari gawai Deri.

"Alamat terlengkap dan teraktual, lo harus bangga punya mitra kayak gue," pujian menyeloroh dari mulut Brandon.

"Lo emang selalu bisa gue andalin." Deri manggut-manggut senang. "Thanks."

Save Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang