Ale bilang, dia bosan cuma sendiri di rumah. Sebab itulah, lelaki berkulit putih itu ada di rumah Jo, duduk di atas kasur seraya memainkan nintendo. Kamar Jo bisa di bilang sangat rapi, ada dua rak buku yang menjadi pemisah tempat tidurnya dan tempat di mana barang-barang Juni diletakkan. Terutama teleskop yang terletak di dekat jendela. Sekilas benda itu menarik perhatian Ale, jarang-jarang ia melihat ada orang yang menyimpan benda itu di rumahnya. Belum lagi mengingat harganya yang sangat mahal, dan segala tetek bengeknya yang Ale yakini tidak mengeluarkan biaya yang sedikit.
"Jo, lo suka sama sesuatu yang berhubungan dengan bintang?" tanya Ale hendak menyentuh teleskop yang berdiri anteng di dekat jendela sebelum akhirnya Jo melarang anak itu menyentuh benda tersebut. "Jangan dipegang, itu bukan punya gue," ujar Jo cepat. Seketika Ale pun merasa bersalah lantaran sudah lancang di rumah orang lain.
"Oh sorry, gue kira itu punya lo. Jadi, yang tidur di kamar ini bukan cuma lo?"
Jo mengangguk. Tadi ketika baru pulang, ia memang tak menemukan Juni di rumah. Satria supir pribadi mereka pun juga tidak kelihatan, dan sulit dihubungi tadinya. Sebab itulah Jo dan Ale pulang menggunakan bus sekolah.
"Gue tidur bareng saudara gue. Juni namanya, tapi sekarang dia lagi enggak di rumah. Nggak tau ke mana."
Ale hanya mengangguk paham, namun ia sulit menyimpulkan, Juni itu cowok apa cewek? Soalnya nama Juni bisa digunakan oleh cowok, bisa pula digunakan oleh cewek.
"Juni itu cowok?" tanyanya agak meragu. Jika berdasarkan analisisnya dari melihat kamar Jo yang bernuansa cowok banget, dan hanya ada satu ranjang berukuran besar, dapat disimpulkan bahwa Juni itu adalah seorang lelaki. Sama seperti mereka.
"Udah pasti cowok, Le, kalo cewek, orang tua gue pasti nggak ngizinin tidur sekamar berdua."
"Aah, udah ketebak, sih," balas Ale sambil terkekeh. Ia kembali duduk di atas kasur Jo dan memainkan nintendonya kembali.
Lantaran merasa bosan bermain game sendirian, Ale menoleh pada Jo yang ternyata sudah membuka buku dan mulai mencoret-coret di atas sana. Anak ini benar-benar ambisius.
"Lo sesuka itu sama yang namanya belajar?" tanya Ale tak habis pikir. Orang seperti Jo bisa dikatakan adalah orang yang langka, di sekolahnya dulu, sebelum pindah ke sini, baru kali ini dia menemui orang yang gila belajar kayak Jo. Tidak di sekolah, tidak di rumah, kerjaannya pasti belajar. Bahkan di saat jam istirahat ataupun jam kosong pun, Jo pasti belajar. Buku yang dibawanya tak pernah tak terbuka.
"Bukan suka, sih, karena udah terbiasa dari kecil makanya," jelas Jo mengendikkan bahunya, netranya kembali fokus pada modul Fisika yang tengah terbuka.
"Jo, lo bisa main game?" tanya Ale kurang yakin.
Jo menghentikan aktivitasnya, anak itu menutup modul dan mulai mengeluarkan sesuatu dari laci belajarnya. "Mau main game apa?" tanya Jo kala mencoba menyalakan nintendonya. Benda itu terakhir disentuhnya sebulan yang lalu. Itu pun karena Juni yang memintanya. Juni bilang, Jo itu sudah pintar, dan beristirahat bermain game sebentar tak akan membuat ilmu yang ada di otaknya menghilang begitu saja, dan anehnya lelaki itu malah terbujuk dengan perkataan Juni.
Ketika nintendonya berhasil menyala, Jo dapat bernapas dengan lega. Dia pikir benda yang sengaja dibelinya itu supaya bisa bermain game bareng Juni tidak mau menyala lantaran sangat jarang disentuh.
"Gue pikir lo nggak bakalan punya benda itu, Jo," tukas Ale agak kaget juga, dan Jo hanya bisa tertawa. Bahkan saudara sepupunya pun juga berpikiran sama dengan Ale. Sebenarnya pandangan orang ke dirinya itu bagaimana? Jo si kutu buku yang tidak suka bermain game? Atau Jo si culun yang terlalu membosankan?
••
Kala mendengar teriakan Juni yang membahana di lantai bawah bikin kesenangan Jo dan Ale sedikit terusik, namun lelaki berkacamata itu tetap buru-buru menghampiri Juni yang masih saja berteriak menyerukan namanya.
"Kenapa, Jun?" tanya Jo menghampiri Juni yang tengah menaruh sesuatu di atas pahanya. Lelaki itu mendorong kursi rodanya menuju meja makan dan menaruh barang bawaannya di atas sana. "Malam ini gue mau begadang, makanya gue keluar dan beli banyak camilan, jangan bilang-bilang bunda, ya?" bisiknya di telinga Jo.
"Begadang ngapain?" tanya Jo penasaran. Dibandingkan dirinya, Juni yang paling cepat tertidur. Kala Jo masih terjaga dengan buku-buku di hadapannya, Juni sudah tertidur dengan pulas, dan hari ini tiba-tiba dia bilang mau begadang?
"Mau ngamati bintang-bintang di langit. Udah lama gue nggak ngelakuin itu," ujarnya singkat.
"Kalo gitu gue temenin," balas Jo seraya mengangguk.
"Lo udah keseringan begadang, nggak usah temenin gue nggak papa kok. Inget kata dokter, lo harus rajin-rajin jaga kesehatan. Tubuh lo itu ringkih, Jo, gue nggak mau lo masuk rumah sakit lagi," tukas Juni tulus dari hatinya. Jo itu badannya saja yang besar, tetapi nyatanya anak itu mudah terserang penyakit, dan flu adalah penyakit langganan yang sering menyerang tubuhnya.
"Sekarang kan udah enggak lagi, jam sepuluh malam gue udah tidur, lagian besok juga libur. Gue juga pengen liatin bintang-bintang di langit bareng lo. Boleh, ya?" tanyanya agak memelas, dan masalahnya Juni lemah dengan Jo yang begini. Dan pada Akhirnya Juni pun mengangguk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Jo (SELESAI)
Short StoryBukan salah Jo bila terlahir pintar, bukan salah Jo bila suka belajar, dan bukan salah Jo pula bila menjadi tetangga Ares.