03 [Apa Jo Tidak punya Teman?]

407 65 0
                                    

Jika dipikir-pikir, selama mengenal Jo, tidak pernah sekalipun lelaki itu mengundang seorang teman ke rumah. Pernah, itu pun hanya sekali sewaktu Jo masih SMP, Narendra namanya. Biasa dipanggil dengan Nana. Anak itu sangat baik, juga ramah pada Juni. Hanya saja kadang kelakuannya suka tidak terduga dan tidak tertebak, tetapi semenjak masuk SMA, Jo tidak pernah lagi membawa Nana ke rumah. Jo bilang, Nana pindah ke kota lain, dan anak itu lebih sering menghabiskan waktunya di rumah bareng Juni.

Bila ingin pergi-pergi pun, Jo selalu dengan Juni, tidak pernah dengan temannya.

Malam ini Juni melihat Jo duduk di ruang keluarga, beberapa sampul dan buku berserakan di atas meja. Anak itu kelihatan serius melakukan sesuatu.

"Lagi? Perasaan lo sering banget ganti buku sama sampul buku. Lo make barang gimana, sih, Jo?" tanya Juni keheranan.

Jo tersenyum seraya melanjutkan pekerjaannya.

"Gue kalo simpen barang di dalam tas suka enggak baik-baik. Main masukin aja, makanya sampul sama bukunya jadi rusak."

Juni mengangguk, tetapi ia tahu Jo sedang berbohong, sebagai orang yang selalu menyimpan bekal yang entah bagaimana selalu ada ruang di dalam sana, Juni juga tahu kalau Jo sehati-hati itu anaknya. Ia menata barang-barangnya di dalam tas dengan rapi.

"Jo, di sekolah lo punya temen, kan?" tanya Juni ingin tahu. Jo terpaku seketika.

"Tiba-tiba, kenapa?"

Juni menggeleng. Anak itu mendorong kursi rodanya mendekati Jo, membantu anak itu menyampul bukunya walau tidak serapi yang dilakukan oleh Jo.

"Semenjak SMA lo nggak pernah bawa temen, ke mana-mana pun selalu sama gue. Sekolah baik-baik aja, kan, Jo?"

Jo mengangguk. Lagi-lagi anak itu tersenyum. "Baik, gue punya banyak temen," katanya bohong.

Juni menghela napasnya lega, ia sempat berpikir kalau di sekolah Jo tidak baik-baik saja. Kecurigaannya itu dimulai dari inhaler milik Jo yang selalu hilang, sampul dan buku tugas milik Jo yang selalu ia ganti, dan yang terakhir tak ada teman yang Jo bawa ke rumah.

"Lo sama tetangga sebelah sekelas, kan? Kok nggak pernah main bareng?"

"Ares maksud lo?" tanya Jo memastikan.

Juni mengangguk mengiakan, memangnya siapa lagi tetangga mereka yang sekelas dengan Jo?

"Ada kok, cuma jarang aja," balas Jo lagi-lagi berbohong. Entah kenapa, ia ingin selalu terlihat baik-baik saja di hadapan Juni. Ia tak ingin Juni mengkhawatirkan kehidupannya yang selama ini masih bisa ia jalani.

••

Juni sudah tidak heran bila jam sepuluh lewat pun Jo masih terjaga dengan buku-buku dan latihan soal yang berserakan di atas meja. Jo ingin jadi dokter katanya, sebab itulah dia belajar kelewat rajin. Juni sering mengingatkan Jo bahwa tak apa berhenti sejenak, tetapi jawaban Jo selalu "enggak bisa berhenti sekarang, gue belum bisa capai apa yang gue mau" katanya.

Jika sudah begitu, Juni cuma bisa pasrah dan menunggu Jo selesai belajar.

"Jo, ayo tidur," kata Juni kepada Jo yang masih asyik mencoret-coret lembaran soal yang penuh dengan angka, melihatnya saja sudah bikin Juni pusing, apa lagi kalau dia yang mengerjakannya.

"Tidur duluan aja, gue masih belom ngantuk," tukas Jo tanpa sekali pun netranya beralih dari lembar soal.

"Lo lupa? Gue kan nggak bisa naik ke atas."

Maka dari itu, Jo pun berhenti. Ia menoleh pada Juni yang memang sudah sangat mengantuk. Jo bangkit dari duduknya dan berjongkok di depan Juni.

"Ayo naik ke punggung gue, kita tidur sekarang."

Juni mematuhi perintah Jo, dengan hati-hati ia menggalungkan kedua tangannya di leher Jo. Dengan begitu Jo akan bisa membawanya naik ke atas. Kamar Jo dan Juni memang ada di atas, di ruangan bawah hanya ruang belajar yang sengaja disediakan oleh kedua orang tua mereka. Jo dan Juni juga sekamar, mereka berbagi kasur, dan biasanya setiap ingin tidur, Juni memeluk tubuh Jo. Kata Juni tubuh Jo lebih empuk dari guling, dan Jo akan tertawa kala mendengarnya.

"Juni, badan lo makin berat. Makan lo banyak, ya, akhir-akhir ini?" tanya Jo agak kesusahan menaiki tangga dengan menumpu tubuh Jo di punggungnya.

Juni hanya terkekeh, akhir-akhir ini dia memang lebih sering makan, apa lagi dia seringnya ada di rumah. Sekolah pun Juni melakukannya di rumah.

"Berat, ya? Entar gue bakalan diet biar lo nggak kesusahan gendong gue kayak gini, atau kita minta pindah kamar di bawah aja?" tanya Juni memberi usulan.

Jo menggeleng, Juni suka tempat yang tinggi, dan bila belajar di rumah, Juni perlu bolak-balik untuk mengambil keperluannya. Jika ruang belajar mereka dipindahkan ke atas, Juni akan kesusahan, dan Jo tidak ingin Juni susah selagi dia masih kuat menggendong Juni naik-turun tangga.

"Enggak, gue seneng karena badan lo mulai berat. Biasanya gue kayak bawa kapas saking ringannya badan lo."

"Lo enggak kesusahan?" tanya Juni tak enak hati. Pasalnya, ia merasa sudah sangat menyusahkan Jo selama ini.

"Enggaklah, gini doang buat apa ngeluh?"

"Elo dan keluarga lo orang paling baik yang pernah gue kenal, janji sehat selalu Jo, gue nggak mau kalo lo sakit," ucap Juni seraya mengelus-ngelus rambut hitam Jo dengan lembut.

"Lo juga harus janji sehat selalu. Gue juga nggak suka kalo lo jatuh sakit."

"Iya, janji," balas Juni sambil tersenyum.

Tentang Jo (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang