Jo baru saja balik dari minimarket dan hendak pulang, di atas awan mendung menutupi langit. Ia mempercepat langkahnya takut akan kehujanan, tetapi nasib malang menimpanya. Baru separuh jalan, hujan sudah turun mengguyur bumi. Jo berlari-lari menyusuri jalanan dan memutuskan untuk berteduh di halte bis yang berada tidak jauh dari komplek perumahannya. Sebenarnya dari rumah Jo sudah mewanti-wanti membawa payung, tetapi hujan lebat begini sama saja usahanya itu sia-sia. Alhasil Jo memilih untuk berteduh seraya menunggu hujan berhenti. Dari kejauhan ia melihat siluet bayangan berlari ke arahnya. Jo memicingkan matanya, berusaha melihat siapa yang datang gerangan.
Begitu siluet itu sudah mendekat, Jo terkejut. Ia melihat Ares dengan pakaiannya yang sudah basah kuyup. Gadis itu memeluk tubuhnya dengan kedua tangan. Bikin Jo merasa kasihan, tetapi Ares terlihat tak ingin Jo mendekatinya.
"Enggak usah liat gue kayak gitu. Gue nggak butuh belas kasih dari lo," ujar gadis itu tajam. Jo hanya bisa terpaku di tempatnya.
Berpuluh-puluh menit pun berlalu, tetapi hujan tak menunjukkan tanda akan berhenti. Sementara hari sudah semakin sore. Ares menggeletukkan giginya menahan rasa dingin yang menghinggapi. Perutnya mulai terasa sakit dan bibir Ares semakin pucat. Jo sangat khawatir dibuatnya.
"Lo bisa pulang sendiri?" tanys Jo dari tempatnya, ia tak berani mendekat, apa lagi menatap wajah gadis itu dari dekat.
Ares tak menjawab, tetapi tubuhnya sedikit bergetar.
"Kita bisa pulang bareng kalo lo mau," kata Jo lagi. Kali ini netra Ares tiba-tiba saja menatapnya. Sampai-sampai Jo tergegau dibuatnya.
"Lebih baik gue mati kedinginan daripada harus pulang bareng lo," tukasnya jahat.
Jo kehilangan akal dibuatnya, lelaki itu mendorong kacamatanya yang mulai melorot. Perlahan atensi Jo teralihkan pada payung bening yang terletak di sebelahnya.
"Lo bisa pulang pake payung gue kalo mau."
Jo mendekat, ia menyodorkan payung bening tersebut pada Ares. Tanpa sepatah kata, Ares merebut payung itu dan mulai mengembangkannya lantas meninggalkan Jo begitu saja. Ares tidak peduli, yang penting dia bisa pulang.
Tadinya Jo ingin menelpon Juni dan menyuruh Satria menjemputnya di halte bis, tetapi bodohnya. Jo--lelaki itu meninggalkan gawainya di rumah. Hari semakin dingin, dan hujan pun semakin lebat. Ia tak memiliki pilihan lain selain pulang menerobos hujan. Jo tak ingin membuat Juni khawatir.
••
Jo sampai ke rumah dengan tubuh menggigil, Juni yang membukakan pintu tentu kaget melihat keadaan saudaranya itu yang sudah basah kuyup.
"Tunggu bentar, gue bawain handuk buat lo," ujar Juni buru-buru mendorong kursi rodanya, tetapi Jo menggeleng. Lelaki itu menahan pergelangan tangan Juni sebelum anak itu pergi.
"In-haler gu-e," lirihnya berusaha bernapas.
Juni mengangguk mengerti, ia meraba-raba saku celananya mencari sesuatu. Begitu benda yang ia cari sudah ketemu, Juni buru-buru menyerahkannya pada Jo. Di rumah, setidaknya Juni memiliki cadangan inhaler yang selalu ia simpan di dalam saku baju ataupun saku celananya. Juni sadar akan keterbatasannya, yang bisa dia lakukan hanyalah mewanti-wanti apa yang akan terjadi pada Jo nantinya. Apa lagi saudaranya itu suka teledor menaruh inhaler miliknya sembarangan.
"Yang tenang Jo, pelan-pelan," kata Juni khawatir.
Jo menghirup inhaler-nya sepuas mungkin agar ia bisa leluasa bernapas, bila asmanya sudah kambuh, hal semacam ini yang tidak dia sukai. Rasanya sesak seakan dia tak memiliki ruang untuk bernapas.
Setelah melihat keadaan Jo yang mulai membaik, Juni segera menyerahkan handuk bersih pada lelaki itu.
"Kenapa nggak hubungin gue atau bang Satria buat jemput lo tadi? Gimana kalo sakit lo kambuh di tengah jalan? Siapa yang bakalan nolongin lo, Jo?!" seru Juni agak membentak. Ia hanya tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan saudaranya itu nantinya. "Berulang kali gue bilang, bawa selalu inhaler lo, ke mana pun lo pergi. Bahkan ke kamar mandi sekalipun."
"Juni, maaf, gue lupa bawa hp gue. Makanya gue nekat pulang nerobos hujan," kata Jo menunduk. Ia sungguh amat merasa bersalah pada lelaki yang kini sudah menatapnya dengan muka memerah.
"Lain kali jangan kayak gini, atau gue bakalan marah beneran sama lo."
"Oke," balas Jo seraya masuk ke dalam rumah. Juni hanya menggeleng ketika melihat lantai rumah basah akibat ulah Jo barusan.
"Jo, perasaan tadi sebelum pergi lo bawa payung, sekarang ke mana?"
Pertanyaan Juni sukses bikin Jo terpaku. Bila dia bilang menyerahkan payung itu pada Ares. Juni tentu akan semakin murka padanya, bukan?
"Kayaknya gue lupa bawa balik dari minimarket," balasnya sembari terkekeh pelan. Setelah itu ngacir begitu saja ke dalam kamar mandi untuk menghindari ocehan Juni yang selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Jo (SELESAI)
Historia CortaBukan salah Jo bila terlahir pintar, bukan salah Jo bila suka belajar, dan bukan salah Jo pula bila menjadi tetangga Ares.