Setelah perkara flashdisk Jo terselesaikan dengan baik, musim UAS pun telah tiba, dan sialnya UAS pertama itu adalah matematika. Hitung-hitung merupakan suatu hal yang mengerikan bagi segelintir orang, tetapi tentu tidak bagi Jo. Lelaki itu sangat percaya diri bisa menyelesaikan UAS-nya dengan baik. Juni dan Ale pun bilang begitu. Maka di sinilah Jo sekarang, mengerjakan UAS matematikanya dengan tenang. Raut wajahnya tak menunjukkan bahwa ia menemukan kesulitan, jari-jemarinya dengan lihai membulatkan lembar jawaban, soal UAS-nya pun dipenuhi dengan coretan. Sistem UAS Jo itu begini, sama seperti soal TO, lembar jawabannya nanti akan di-scan dengan komputer. Maka membulatkannya pun harus dengan hati-hati. Sedikit lagi, sedikit lagi Jo selesai.
"Buk, saya permisi," tukas Ares seraya mengangkat tangan kanannya. Setelah mendapatkan izin, Ares pun beranjak. Gadis itu diam-diam menyembunyikan air mineral di balik punggungnya, dan begitu mendekati meja Jo, gadis itu dengan sengaja menumpahkan air di lembar jawaban milik Jo yang sedikit lagi selesai. Jo tentu kaget dibuatnya, ia menatap Ares tak percaya, sedang perempuan itu melenggang tanpa rasa bersalah. Jo panik, ia menilik jam di pergelangan tangannya, waktu UAS-nya sebentar lagi, dan Jo harus mengulang membulatkan lembar jawabannya.
"Ada apa Jo? Kalau sudah selesai boleh dikumpul,"tutur pengawas ujian ramah, Jo menelan salivanya, ia mencoba mengontrol dirinya untuk tenang, Jo tak ingin asmanya kambuh di saat begini atau semuanya akan kacau.
Dengan langkah perlahan, Jo berjalan ke depan, meminta lembar jawaban yang baru pada pengawas ujian.
"Memangnya lembar jawaban kamu kenapa, Jo? Ini waktunya bentar lagi lho. Saya nggak mau, ya, nungguin kamu," tukas sang pengawas mulai jengkel. Jo lagi-lagi meneguk salivanya.
"Punya saya enggak sengaja ketumpahan air buk, saya janji akan menyelesaikan ini dengan cepat," tukasnya dengan wajah agak memohon.
"Haduh Jo, makanya lain kali hati-hati," omel sang pengawas lantas menyerahkan lembar jawaban pada Jo.
Kelas yang awalnya hening sudah mulai berisik, menandakan bahwa sebagian dari mereka sudah selesai.
"Waktunya dua puluh menit lagi, selesaikan dengan cepat!"
Jo yang sibuk membulatkan jawaban pun panik bukan main. Ada empat puluh lima soal, dan lembar yang baru terlingkar bahkan belum sampai setengahnya. "Tenang Jo tenang, lo pasti bisa nyelesein ini tepat waktu, yang penting tenang dulu," bisiknya pada diri sendiri.
Sasha yang sudah selesai pun mulai beranjak dari tempat duduknya, ketika melewati meja Jo, gadis itu pun berhenti sebentar, memperhatikan pengawas ujian yang ternyata lagi sibuk dengan smartphonenya. Kesempatan bagus.
"Jo, jawaban punya lo dari nomor 35 sampe 40 apa aja?" tanya Sasha sedikit berjongkok.
"Ha?"
"Jawab aja cepet, mau dibantuin, nggak?" bisik Sasha bikin Jo menganga. "Ah, lo lama," tukas gadis itu mengambil soal ujian milik Jo dan membuka soal nomor 35 sampai 40, setelah itu dia mulai membantu Jo membulatkan lembar jawabannya. "Cepetan Jo, lo tau sendiri itu guru nggak sabaran."
Jo mengangguk, berdua dengan Sasha, Jo mulai membulatkan lembar jawabannya dengan cepat. "Oke, dikit lagi. Semangat Jo, gue ngumpul duluan," bisik Sasha kembali berdiri.
"Sha, makasih, ya?" balas Jo berbisik pula, dan Sasha pun mengangguk.
"Waktunya habis, cepet kumpulin punya kalian, atau saya tinggal," ujar guru di depan tegas. Satu per satu dari mereka pun mulai beranjak dengan lembar jawaban di tangan. Berkat Sasha, Jo bisa menyelesaikan ujiannya tepat waktu.
••
Jo tidak pernah marah, bahkan di saat ia disakiti sekalipun, namun tindakan Ares tadi sudah keterlaluan, ini yang kedua kalinya setelah insiden ulangan Biologi yang cukup bikin Jo trauma, ulangan Biologinya benar-benar kacau, Jo sebenarnya bisa mendapatkan nilai sempurna, tetapi guru Biologinya itu malah memberinya nilai delapan lima. Pelit dan juga penuh perhitungan.
"Maksud lo tadi apa? Enggak mikir kalo gue bisa aja enggak lulus, ha? Jangan keterlaluan jadi orang," tukas Jo di koridor kelas. Aksi protesnya itu jadi tontonan para murid, terutama orang-orang yang sekelas dengannya. Baru kali ini mereka melihat Jo marah-marah.
Ares menghela napasnya, dengan kedua tangan terkepal, gadis itu menatap Jo sangat tajam. "Lo mau tau alasannya? Itu karena gue nggak suka liat lo berhasil. Gue lebih suka liat lo gagal dan terpuruk. Gara-gara lo Jo, gara-gara lo orang tua gue nuntut gue lebih. Mereka selalu bangga-banggain lo di depan gue, mereka selalu ngebandingin gue sama elo. Mereka selalu bilang Jo beginilah, Jo begitulah. Dunia gue seakan berputar di lo. Selalu begitu," tukas Ares berusaha menahan sesak di hatinya, bahkan segala curahan hatinya belum sepenuhnya tersampaikan.
"Harusnya orang kayak lo enggak pernah terlahir ke dunia, seharusnya kita nggak pernah ketemu, seharusnya orang tue gue enggak membandingkan kita. Lo dan gue itu berbeda. Dari kapasitas otak aja udah beda, dan gue benci mereka nuntut gue harus kayak lo. Berprestasi di segala bidang pelajaran dan selalu membawa pulang medali olimpiade. Bagaimana mungkin seorang Taresa Andriana harus sama dengan seorang Jofrian Afrianda? Gimana bisa gue jadi kayak lo, Jo? Gimana caranya?"
Ares pun terisak, jeritan yang selama ini ditahannya akhirnya tersampaikan juga. Dia lelah terus-terusan dituntut ini itu sedang ia tak mampu. Hidup dalam tekanan itu benar-benar menyesakkan. Ares tak bisa.
"Dan kalau lo tanya apa itu alasan gue jahat sama lo selama ini, jawabannya iya, dan lo harus tau. Teman-teman sekelas juga merasakan hal yang sama, mereka juga benci dibanding-bandingin oleh guru dan jadiin lo tolak ukur siswa yang patut ditiru. Gara-gara lo puluhan orang menderita Jo, dan itu sebabnya gue benci banget sama lo," lirih Ares seraya mengusap air matanya. Jo hanya mampu terdiam, dadanya terasa sesak dan bibirnya mendadak kelu. Jo bahkan tak bisa bersuara barang sepatah dua patah sekalipun. Ia terlalu shock.
Tapi ... bukan salah Jo bila terlahir pintar, bukan salah Jo bila suka belajar, dan bukan salah Jo pula bila menjadi tetangga Ares. Iya, kan? Dia adalah korban dari oknum-oknum yang menganggap setiap manusia itu harus sama. Dia korban dari oknum-oknum yang selalu berpegang teguh pada kata 'kalo dia bisa, maka orang lain juga bisa'. Padahal setiap manusia itu terlahir berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Jo (SELESAI)
Short StoryBukan salah Jo bila terlahir pintar, bukan salah Jo bila suka belajar, dan bukan salah Jo pula bila menjadi tetangga Ares.