Ale tersentak kala udara dingin menusuk kulit luarnya, lelaki itu terjaga dari tidur dan melirik jam di ponselnya, pukul lima pagi, ia pun bangkit dan mulai menyingkirkan sampah camilan yang ada di atas perut, dan mulai beranjak dari tidurnya. Anak itu menggeliat dan mengusap matanya yang masih terasa berat. Lantas setelah itu mengedarkan pandangan di sekeliling ruang kamar, mencari keberadaan Jo dan Juni yang tadi malam duduk melingkar sembari menunggu giliran untuk melihat bintang menggunakan teleskop milik Juni. Ale menutup jendela yang terbuka sedikit hingga mengurangi rasa dingin yang menghinggapi. Malam tadi sangat seru, mereka tertawa dan juga bercanda. Pandangan Ale terhadap Jo seratus persen berubah, anak itu memang suka belajar dan terlihat sangat kaku, namun kenyataannya Jo tidak sekaku itu.
Jo juga bisa mengumpat, apa lagi ketika ia kalah bermain game, tetapi umpatan yang keluar dari mulutnya tidak sebarbar Juni ataupun Ale. Paling-paling kata sialan penuh penekanan.
Kala menemukan Juni dan Jo yang tengah tertidur, Ale merasa agak geli dengan kedua remaja itu. Jo yang tidur menghadap kiri, dan Juni yang memeluk lelaki itu dari belakang, tetapi di saat yang bersamaan mereka terlihat sangat lucu. Seperti dua bocah yang sedang tertidur.
"Jadi kalian ngebiarin gue tidur di lantai dan kalian enak-enakan tidur di sini?" tanya Ale seraya berdecak, menyebabkan Jo menggeliat di kasurnya dan membuka mata. Ia kaget mendapati Ale yang berdiri di tepi ranjang dengan berkacak pinggang.
"Kita udah coba bangunin, tapi lo kebo banget, ya udah kita biarin aja," ujar Jo seraya menyibakkan selimutnya, lelaki itu mengambil kaca mata yang terletak di atas nakas dan mulai mengenakannya.
"Sekarang jam berapa?"
"Jam lima lewat, habis ini lo mau ke mana?" tanya Ale mengikuti Jo yang membuka pintu kamar. Juni masih mereka biarkan tertidur lantaran merasa kasian.
"Bikin sarapan," balasnya enteng.
Ale mengangguk, rumah ini tidak terlalu besar, walaupun terasa sepi, namun rumah ini terasa lebih hidup, mungkin karena ada Juni dan Jo sebagai penghuninya.
"Orang tua lo sesibuk itu?" tanya Ale penasaran, lantaran dari kemarin hingga sekarang, Ale belum bertemu dengan orang tua Jo.
"Bokap gue, sih, biasanya iya, tapi nyokap gue enggak sesibuk itu, kok, lagi nggak di rumah aja lantaran harus jaga oma yang lagi sakit," jelas Jo yang dibalas anggukan oleh Ale.
"Gue beru tau lo tetanggaan sama cewek yang suka gangguin lo di kelas."
"Ares maksud lo?"
Ale mengangguk. "Iya, tadi pas bangun, gue liat dia lagi belajar di balkon kamarnya. Btw balkon kamar kalian saling berhadapan gitu, ya?"
"Iya," balas Jo seraya membawa tiga potong roti bakar di atas piring dan menaruhnya di atas meja. "Gue bangunin Juni dulu," ujar Jo hendak beranjak, tetapi Ale lebih dulu menyela. Katanya, "biar gue aja."
"Tapi lo harus gendong Juni. Emang sanggup? Juni itu keliatannya aja yang kurus, badannya berat."
Ale terkekeh. "Serahin aja ke gue, tapi Jo kenapa nggak ngusulin ke orang tua lo buat bikin jalan khusus untuk Juni? Seenggaknya lo nggak kerepotan bawa dia naik turun tangga."
Jo tersenyum, dan itu terlihat sangat tulus dari hatinya. "Gue suka ngelakuin itu karena gue seneng bisa jadi orang yang diandelin buat Juni. Kesukaan gue sama Juni itu beda. Walaupun kita keliatan deket, tapi kita enggak sesering itu bicara satu sama lain. Juni sibuk sama apa yang dia suka, dan gue sibuk sama apa yang gue suka. Waktu di mana gue ngegendong dia buat tidur ke kamar adalah waktu di mana kami bisa saling bicara dan bertukar pikiran."
"Lo sayang sama dia? Tapi ... bukan sayang dalam artian lain, kan?" tanya Ale curiga. Takutnya apa yang ada di pikirannya jadi kenyataan. Ale enggak masalah, sih, itu urusan Jo dan Juni, tapi tetap saja dia merasa itu sedikit agak mengganjal.
"Sayang gue ke Juni murni kayak saudara kebanyakan, lagian gue straight kok. Gue masih suka sama cewek, tapi sayangnya cewek itu nggak suka sama gue."
"Lo bisa naksir cewek juga?" tanya Ale tertawa dan menepuk bahu Jo pelan. Sepersekian detik kemudian pun Jo ikut tertawa. "Lo kira gue apaan?"
"Biasanya orang kayak lo lebih ngeprioritasin sama yang namanya belajar, jarang banget mikirin perasaan."
"Itu artinya gue masih manusia normal, kan? Gue masih bisa jatuh cinta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Jo (SELESAI)
Short StoryBukan salah Jo bila terlahir pintar, bukan salah Jo bila suka belajar, dan bukan salah Jo pula bila menjadi tetangga Ares.