07.

854 83 0
                                    





Salju pertama turun di sore yang sendu..
Butiran butiran kecil berwarna putih berlomba lomba menyentuh daun jendela yang tertutup.
Membuat bentuk tumpukan  di sisi luar kaca.

Dari sisi lainnya.
Tatapan kosongnya melayang ke masa lalu mencoba mengingat ingat momen berharga yang mungkin masih bisa di gunakan untuk menghibur hatinya yang sedih.

Teringat kata-kata Tae terakhir kali mereka bertemu, seperti batu yang menghantam keras batinnya.

Suasana yang lebih berisi di rumah dengan kehadiran ketiga kakaknya masih belum cukup untuk mengganti kekurangan yang Jimin rasakan.

Dia belum terbiasa dengan keramahan yang tiba-tiba muncul di wajah wajah saudara dan Daddynya itu.
Terasa kaku dan sedikit terpaksa

Sungguh, Jimin tidak biasa jika harus di papah dan di bantu setiap kali akan bangun dari tidur atau duduknya.

Atau diberikan senyum setiap kali bertemu muka dengan siapapun di rumah, atau apalagi jika setiap jam makan, mereka semua berkumpul dan membujuk agar Jimin makan lebih..
Belum lagi hadiah hadiah yang diberikan dengan alasan yang tidak masuk akal.

Mungkin bagi mereka itu solusi untuk keadaan Jimin sekarang, tapi ternyata itu malah menimbulkan ketidak nyamanan untuknya

Dua hari setelah kunjungan ke klinik seperti waktu yang berjalan lambat.
...
.

.

.
....

"Kau ingin ikut?"

"Kemana?"

" Menemui keluarga Jeon, daddy berencana untuk mengamankan mereka sementara agar kasusnya bisa cepat terselesaikan, jadi malam ini kami akan membicarakannya
Bukankah kau dan putranya berteman baik?"

Jimin terkejut dan sadar dari lamunannya.
Bagaimana bisa dia melupakannya?
Atau malah mungkin dia tidak terlalu berharap sebelumnya,
Mengingat bahwa Daddynya orang yang cukup cuek dengan urusan yang menyangkut kehidupan orang lain.

"Kalau mereka setuju seharusnya mereka akan berangkat malam ini juga, kau akan sulit bertemu dengan temanmu itu untuk waktu yang belum diketahui"

Jimin tidak mengangguk ataupun menggeleng.

"Pakailah pakaian yang tebal nak, daddy akan menunggu "

Jimin bertanya tanya apakah ternyata akhirnya kebenaran akan terungkap, jika benar tuan Jeon terbukti tidak bersalah apakah Jungkook akan memaafkan keluarganya?

Membayangkan itu Jimin langsung teringat wajah kasar Jungkook, yang sepertinya akan tetap membencinya.
Dan terutama dia masih sangat trauma dengan kejadian yang membuat kaki Jimin masih pincang sampai sekarang.

"Aku di rumah saja dad, di luar sangat dingin.. aku akan menunggu daddy memberi tau perkembangan apapun nantinya."

"Baiklah, daddy akan cepat pulang agar bisa membawamu ke dokter"

Jimin terbelalak, tidak lagi pikir Jimin.

"Dokter?"

"Untuk memeriksa kakimu itu.. daddy sudah membuat janji dengan paman Lee."

Lega dirasa Jimin (hanya memeriksa kaki) dia langsung mengangguk.
"Baiklah dad"

Ayahnya langsung turun dan hanya berselang beberapa detik Hoseok masuk.

"Kau sudah minum obatnya"
Tanya kakaknya itu.

"Sudah kak"

Hoseok menjeda sebentar lalu bertanya lagi
"Apakah kau tidak bosan dikamar hampir seharian?, ayo temani kakak keluar"

Mengumpulkan Cahaya Bintang.. (COMPLETE)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang