Samar samar Jimin mendengar suara gaduh, lalu orang berbisik.
Bau khas rumah sakit tercerna di otaknya.
Tapi, sejalan dengan mulai sadarnya, dia pun mulai merasakan sakit di seluruh tubuhnya..
Belum lagi sakit yang seolah olah betah bertengger di dalam kepalanya.
Diapun menolak membuka matanya, karena sudah tau akibatnya.
Dia akan merasa mual dan tambah lemah.Dia coba menelan ludah tapi tenggorokannya terasa kering dan sakit,sehingga tidak sadar dia meringis..
"Hei.. ada apa.. apa kau haus?"
Suara seseorang dengan nada cemas masuk ke pendengarannya."Ini... minumlah.."ucap orang itu lagi,lalu Jimin merasakan ada sesuatu seperti sedotan yang di sodorkan ke mulutnya. Dia merasakan lega saat air yang di hisapnya membasahi tenggorokan dan dia minum cukup banyak.
"Sudah cukup?" Tanya orang tadi, yang tidak lain adalah Tae, saat Jimin menghentikan gerakan menyedotnya.
Jimin mengangguk.
"Apa kepalamu terasa sangat berat?" Tanya Tae lagi yang melihat Jimin masih belum mau membuka matanya.
Jimin kembali mengangguk.
"Mmm.."gumamnya memberi tau.
Posisi tempat tidurnya dirubah menjadi duduk oleh Tae dan setelah mengumpulkan sedikit kekuatan Jiminpun membuka matanya.Tae melakukan pengecekan pada suhu tubuh,denyut nadi dan detak jantung Jimin sambil berucap.
"Untunglah tidak ada luka yang begitu serius.
Aku lihat ada beberapa bekas luka memar di bagian perut dan punggungmu.
Aku sudah menanyakan kepada pihak rumah sakit yang menanganimu tentang apa yang terjadi.
Kita harus melaporkan orang-orang itu Jim,agar mereka di tangkap dan dihukum.
Kebetulan aku punya saudara di kepolisian, kita bisa meminta bantuan pada.."
Jimin tau apa yang dimaksud oleh Tae.
Dia memang mengaku di hajar preman saat memasuki rumah sakit kemarin."Tidak perlu Kak.."
Jimin memotong kata-kata Tae cepat."Apa??"
"Aku bilang tidak perlu.
Aku tidak mau mempermasalahkan ini.
Mereka hanya berandal yang tidak tau apa-apa.."bohong Jimin."Apa yang kau katakan?
Mereka membuatmu hampir mati Jim! Bagaimana mungkin?..""Aku serius kak.
Tolong jangan di ungkit lagi." Jimin berkeras sambil menatap serius ke arah Tae yang di balas gelengan tidak percaya."Aku mohon.
Aku sudah baik-baik saja sekarang.""Kau tidak baik-baik saja!" Tae mulai habis kesabaran.
"Aku ingin istirahat. Apa kakak tidak ke klinik?" Namun Jimin malah memilih mengalihkan pembicaraan, tidak peduli dengan tatapan tajam yang Tae berikan.
"Kakak boleh pergi, aku bisa meminta bu Dolores untuk menjagaku." Sambungnya dengan ekspresi setenang mungkin sembari membuat gerakan menyamankan posisinya.Tae mengulum kembali kata-katanya yang hendak keluar.
Sekian lama mengenal Jimin dia jadi tahu bagaimana anak itu.
Jimin adalah anak yang keras kepala.
Jika dia sudah begitu berarti dia serius dengan apa yang dikatakannya.
Maka setelah menetralkan nafasnya diapun mencoba bicara lagi.
"Tidurlah lagi.. aku tidak akan kemana-mana.
Aku akan menjagamu.." ucap Tae pelan yang diam-diam di syukuri dalam hati oleh Jimin."Berapa lama aku tidak sadarkan diri?"
Tanya Jimin parau dan kembali menoleh setelah mereka saling diam beberapa saat."Dua hari.." Jawab Tae singkat.
"Apa?" Jimin tersentak begitu juga dengan Tae.
"Dimana handphoneku?" Jimin seketika panik.
"Untuk apa? Kau tidak apa-apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengumpulkan Cahaya Bintang.. (COMPLETE)✅
Fiksi Penggemaranak bungsu dari empat bersaudara dan dari keluarga yang sangat kaya bukan berarti Jimin hidup bahagia.. akankah dia punya waktu untuk merasakan cinta?? Tenang,, ceritanya gak lebay lebay amat kok 😉