Baskara baru saja melewati puncaknya hari ini. Jarum jam menunjukkan pukul satu lebih lima menit sementara itu, orang yang sejak kemarin malam tertidur mulai bangun. Alvey membuka matanya perlahan, mengerjapkannya berulang kali guna memperjelas penglihatannya yang buram. Setelahnya, ia menoleh ke kanan dan kiri, baru sadar jika ini bukanlah kamarnya.
Alvey terdiam—berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Hujatan yang ia terima, tangisan, kambuh di kamar mandi hingga pingsan saat Tara menggendongnya dan berakhir tersadar mendapati dirinya terbaring di sini. Ya, Alvey mengingatnya. Ia mulai tenggelam dalam pikirannya sendiri, ingat betul bagaimana orang-orang dengan mudahnya menebar kebencian dengan umpatan-umpatan kasar.
Ia menggelengkan kepalanya pelan. "Gue nggak salah," gumamnya. Alvey memejamkan matanya saat hujatan itu mulai terdengar di telinganya.
"Semuanya udah hancur."
Alvey tersentak saat mendengar suara seseorang yang begitu dekat, tepat di samping kirinya. Suara ini, tentu saja ia mengenalnya. Orang yang berhasil membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya.
"Lo juga harusnya hancur! Sayang banget gue udah ketahuan. Tapi jangan khawatir ...."
Alvey menelan salivanya kemudian memberanikan diri untuk membuka mata kemudian menoleh ke kiri secara perlahan. Tubuhnya menegang kala mendapati cewek yang selama ini ia benci ada di sampingnya, tersenyum penuh arti. Tangannya meremat selimut yang ia gunakan saat cewek itu mendekat dan berbisik.
"Buat sekarang lo bisa seneng-seneng, tapi inget ini, gue bakal balik lagi. Cewek yang namanya Viola ini ... bakal pastiin lo mati, atau paling enggak, sengsara. Oh, atau mungkin harusnya gue lakuin aja sekarang?"
Alvey terkejut kala Vio mencekiknya—untuk yang kedua kalinya. "Kemaren Jingga lakuin ini ke gue, lo juga harus ngerasain." Alvey tak bisa melakukan apa pun. Vio melepas masker oksigennya, tersenyum penuh kemenangan saat ia benar-benar kesulitan bernapas.
"Tenang aja, lo nggak bakal pergi secepat ini. Mungkin bukan sekarang, tapi nanti. Gue bakal pastiin lo mati!"
***
Thea dan Rama berjalan dengan santai menuju ruang rawat Alvey, baru saja kembali dari sekolah kemudian mampir terlebih dahulu ke rumah mengambil beberapa potong pakaian.
"Kok bisa ya Jingga kena pengaruh yang kayak gituan? Apa kurang ibadah ya?"
Mendengar pertanyaan sang suami, Thea menghela napas. "Aku nggak ngerti yang kayak gituan. Tapi yang namanya ilmu hitam itu datangnya dari hal yang buruk juga 'kan? Harusnya Ayah nggak ngizinin Jingga pacaran dulu. Kalo Tara, udah terjamin dari keluarga yang jelas," ujar Thea. "Kalo tentang ibadah atau iman ya emang harus diperkuat, mau kena atau nggak kena juga."
Rama dan Thea sampai di tempat yang di tuju, membuka pintu ruang rawat sang putra. "Al udah bangun belum, ya?"
Keduanya masuk dengan santai sebelum akhirnya Thea berbelok dan mematung. Rama yang baru saja selesai menyimpan barang bawaannya di sofa ruang keluarga ikut bergeming, terkejut karena bed pasiennya kosong. Tak ada Alvey di sana, menyisakan selang infus yang tercabut dan juga ceceran darah. Alat bantu pernapasan juga tergeletak di atas kasurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvey Diansa [Terbit]
Teen Fiction[ Brothership, Friendship, Sicklit ] Sejujurnya, Alvey tidak pernah berkeinginan untuk mencampuri masalah orang lain. Namun, siapa sangka, dimulainya sekolah secara tatap muka juga mengetahui rahasia yang dimiliki oleh pacar kakaknya--Jingga--menjad...