"Jam penerbangannya dimajuin. Kayaknya gue sampe bandara nanti sore."
Alvey menyampirkan tas sekolahnya di bahu, mengambil ponsel yang sudah bisa ia pegang tanpa rasa takut. "Jam pulang sekolah?" tanyanya menjawab Kamal dari panggilan yang tersambung.
"Iya. Mungkin ... sekitar jam empat. Atau paling lambat jam lima. Nanti gue langsung ke rumah lo deh. Kan gue udah janji buat nemuin lo pertama kali."
"Iya boleh. Atau enggak, nanti gue ke bandara deh. Sekalian ajak Budi sama Hesa."
Panggilan tersebut tidak berlangsung lama. Setelah selesai, Alvey langsung ke luar kamar, menuju ruang makan yang sudah dihuni oleh anggota keluarganya. Ada yang beda kala itu, suasana tidak hangat seperti biasanya.
Alvey sadar. Setelah ia menyampaikan banyak kata maaf kemarin sore, mereka semua menjadi lebih banyak diam. Sarapan hari itu terasa hambar.
Bahkan sampai selesai pun tak ada percakapan yang terlontar. Alvey menjadi merasa bersalah. Padahal ia hanya ingin menyampaikan kata maaf karena gelisah. Jikalau perasaan itu tak ada, mungkin Alvey juga tidak akan berpikir yang aneh-aneh.
Maka dari itu, setelah selesai makan, ia langsung menghampiri kedua orang tuanya. Memeluk mereka dari belakang dengan erat. "Maafin, Al, Yah, Bun."
"Jangan minta maaf." Akhirnya Rama berbicara menoleh pada putra bungsunya. "Jangan bersikap kayak gini, bisa, Al?"
Alvey tak mendengar permintaan Rama, lebih memilih mengecup pipi kedua orang tuanya. "Al sayang kalian." Usai itu Alvey memutar kembali mengitari meja. "Pak Ramzi pulang kampung, ya? Kalau gitu, gue bareng lo, Bang."
Jingga yang sedari tadi diam menghela napas, mulai berdiri dan berpamitan. Alvey beralih menatap Tara yang menyibukkan diri dengan ponsel. "Pilih tempatnya yang bagus, ya, Bang. Buat Kak Freya seneng."
Tara berhenti menggulir layar ponselnya, merasakan pelukan juga untuk yang kedua kalinya sejak kemarin. "Lo aneh. Bener kata Ayah, jangan kayak gini," ucapnya tak suka.
"Kenapa sih, jarang-jarang juga pelukan kayak gini." Alvey melepas pelukannya lalu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan pada keluarganya kecuali Jingga. "Al berangkat dulu, daaa."
Dua yang termuda sudah keluar dari rumah tersebut, menyisakan keheningan dari tiga yang lainnya. Rama mengembuskan napasnya seraya berkata, "Kita jangan ikutan negatif thinking kayak Alvey. Berdoa aja, enggak bakal ada apa-apa. Ini semua, cuman ketakutan dia aja."
★★★
Di tengah perjalanan, Alvey maupun Jingga saling diam. Yang dibonceng sibuk memandangi jalan dan bangunan yang dilewati sementara Jingga fokus dengan motor yang dikendarai. Perasaannya benar-benar tak enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvey Diansa [Terbit]
Teen Fiction[ Brothership, Friendship, Sicklit ] Sejujurnya, Alvey tidak pernah berkeinginan untuk mencampuri masalah orang lain. Namun, siapa sangka, dimulainya sekolah secara tatap muka juga mengetahui rahasia yang dimiliki oleh pacar kakaknya--Jingga--menjad...