22 - 'Berbaikan'

6.6K 904 583
                                    

Terhitung sudah tiga hari terlewati dan selama itu juga, Alvey benar-benar mendapatkan afeksi penuh dari keluarganya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terhitung sudah tiga hari terlewati dan selama itu juga, Alvey benar-benar mendapatkan afeksi penuh dari keluarganya. Banyak teman-teman sekelasnya yang menjenguk--memanfaatkan libur sekolah karena kelas 12 yang sedang melaksanakan Try Out.

Hari ini adalah hari terakhir Alvey dirawat. Meskipun keadaannya masih naik turun atau bisa dibilang masih belum sepenuhnya stabil, tetapi Alvey memaksa agar segera dipulangkan. Kedua orang tuanya berada di luar bersama Jingga, sementara Tara memutuskan untuk menemani sang adik. Ia tidak bisa meninggalkannya. Dokter menyarankan agar tidak membiarkan Alvey sendirian ketika sedang terjaga. Ini merupakan salah satu tujuan agar Alvey tidak lagi membayangkan apa yang ditakutinya.

Alvey sendiri masih bungkam--tak ingin berbicara sepatah kata pun pada sosok kakak keduanya itu. Mendengar penjelasan dari Rama, kemungkinan Alvey butuh waktu sendiri untuk mengobati lukanya.

"Dek, lo marah sama Jingga?" Sekadar basa-basi, Tara dengan sengaja menanyakan hal yang cukup sensitif sekarang. Tentu saja Alvey tidak menjawab, lebih tertarik untuk mengaduk bubur yang belum ia habiskan. Melihat hal itu, Tara langsung mengambil mangkuknya, sengaja agar Alvey mendengarkannya. "Kalo diaduk mulu nanti enggak enak, terus dingin lagi. Sini!"

Tara menyodorkan sendoknya, menatap bagaimana adiknya itu menelan buburnya pelan. Tara sengaja tak berbicara lagi, hingga sampai suapan ke enam, hening masih menyelimuti. Agak miris karena Alvey lebih banyak diam setelah masalah kemarin menimpanya. Tara hanya bisa menghela napas dan menyimpan mangkuknya di atas nakas samping ranjang.

Spontan ia mengangkat wajah Alvey agar adiknya itu balik menatapnya. "Vey, kalo ada hal yang elo takutin, cerita, please. Atau kalo lo kebayang-bayang hal yang buruk panggil siapa aja, jangan diem." Tara melepaskan tangannya. "Cewek itu, udah nggak ada. Dia nggak bakal balik lagi ke sini. Dia udah kalah, cewek itu kalah sama lo. Jadi nggak usah khawatir lagi. Dan soal Jingga, lo masih takut sama dia?"

Tanpa diduga Alvey mengangguk pelan. Hal itu membuat Tara sedikit lega, artinya ia tak perlu menunggu waktu lama agar sang adik mau terbuka padanya. Ini saatnya, sebagai kakak tertua ia harus bisa memperbaiki hubungan kedua adiknya. "Vey, mungkin lo kecewa sama dia, tapi gue harap jangan terlalu lama musuhin dia, ya? Ayah udah bilang 'kan semalem, kalo Jingga enggak sepenuhnya sadar sama perbuatannya. Dan kalo misalkan sadar pun, kita tahu sendiri kalo manusia itu enggak luput dari kesalahan."

Alvey memalingkan wajahnya. Namun telinganya masih ia fungsikan untuk mendengar kelanjutannya. "Jingga udah berusaha buat minta maaf sama lo. Ini udah tiga hari loh, enggak baik kalo musuhan lebih dari itu," ucap Tara.

Alvey bergeming. Namun meskipun begitu ia mulai berpikir sedikit demi sedikit. Ia menghela napas, hendak berbicara tetapi getaran ponsel menghentikannya. Mendengar hal itu, Alvey seketika memejamkan matanya sedangkan Tara tidak langsung melihat siapa yang memberi pesan pada ponselnya melainkan memeluk Alvey yang mulai menutup kedua telinganya.

Alvey Diansa [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang