Bab VIII

416 62 4
                                    

Mobil yang dikendarai Rara berhenti di sebuah bangunan berlantai satu yang ia jadikan kantor bersama Aiza

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mobil yang dikendarai Rara berhenti di sebuah bangunan berlantai satu yang ia jadikan kantor bersama Aiza. Bisnis desain grafis ini sudah mereka bangun sejak delapan bulan yang lalu. Semua mereka mulai dari nol bersama-sama. Jatuh dan bangun tak sekali dua kali mereka lalui untuk mencapai titik ini.
Bisnis ini tidak besar, karyawannya pun baru lima orang termasuk Rara dan Aiza. Tapi Rara bahagia, karna semua ini murni dari kerja kerasnya bersama Aiza.

"Nia, Aiza belum datang?" Tanya Rara.

"Mbak Aiza izin terlambat, Mbak. Ada keperluan katanya."

Rara mengangguk lantas melangkahkan kakinya menuju meja kerjanya. Tumben sekali Aiza izin terlambat, biasanya dialah yang paling bersemangat untuk datang paling awal.

Jam sebelas siang Aiza baru sampai di kantor. Wajahnya terlihat bahagia. Ia langsung menghampiri Rara yang masih sibuk berkutat dengan laptopnya.
"Baru sampai, Bu?" Sindir Rara tanpa mengalihkan pandangannya.

"Maaf Ra. Tapi aku ada sesuatu untuk kamu."

Rara mengalihkan pandangannya. Aiza masih tersenyum malu-malu di depannya. "Apa?"

"Ini." Aiza menyodorkan sebuah amplop ke arah Rara. Dari bentukannya Rara sudah bisa menebak apa isi dalam amplop itu. Dengan bersemangat Rara menerima amplop dari Aiza. "Datang, ya."

"Kamu serius mau nikah? Ya Allah, aku lagi nggak bermimpi kan Ai?"

Rara membuka amplopnya, namun saat itu juga ia terdiam. Matanya membulat sempurna. Ia merasa jantungnya baru saja berhenti berdetak, bumi tak lagi berputar. Dunianya hancur saat melihat nama Azlan dan Aiza yang terukir indah dengan tinta keemasan.

Ketiga karyawannya yang datang dan memberi selamat pada Aiza sama sekali tak dihiraukan Rara. Pikirannya sudah melayang jauh membawa luka yang menganga lebar dihatinya. Tangisnya tercekat membuat Rara kesulitan untuk bernapas.

"Ra, kok diam?" Mulut Rara seperti terkunci, hanya matanya yang menatap Aiza. "Maaf Ra, aku nggak cerita apa-apa sama kamu. Saat itu aku terlalu nggak percaya kalau aku akan menikah dengan Azlan, aku takut untuk berekspetasi terlalu tinggi." Bukan tanpa alasan Aiza melakukan semua itu. Sebelumnya ia juga pernah diiming-imingi pernikahan oleh seorang pria, tapi kemudia lelaki itu pergi begitu saja tanpa kabar, Aiza hanya tidak ingin sakit hati seperti terakhir kali.

Kamu tidak hanya menyakitiku dengan tidak menceritakan rencana pernikahanmu Za, tapi lebih dari itu. Kamu menghancurkan hatiku, kau melukaiku. Ingin rasanya Rara meneriakkan itu semua tapi mulutnya terkunci rapat.

"Kamu tau, aku benar-benar tidak menyangka akan menjadi istri Azlan. Jujur, aku sudah menyukai Azlan dari lama," ucap Aiza malu-malu. Gadis itu seperti tidak melihat luka dimata Rara, melihat bahwa sahabatnya tidak baik-baik saja dengan semua ini.

"Kami bertemu tiga bulan yang lalu di cara salah satu kerabat Papa. Ternyata kedua orang tua kami saling mengenal, dan beberapa hari setelahnya orang tua Azlan datang ke rumah melamarku. Ah, aku tidak bisa menjabarkan perasaanku saat itu."

Bukan Sekedar Pelampiasan✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang