"Suka Bunda sama konsep pernikahannya Ra. Simple tapi berkelas. Bisa kita jadikan inspirasi untuk pernikahan kamu nanti." Naima terkekeh kecil setelah mengucapkannya. Ia membayangkan bagaimana pernikahan putrinya itu nanti. Sungguh, Naima tidak sabar menunggu hari itu datang.
Naima masih asik berceloteh tapi yang diajak bicara hanya mengangguk tidak jelas. Rara sama sekali tak berminat membahas masalah ini. Jangankan pesta pernikahan, menikah saja ia sudah tidak memperdulikan lagi. Bagaimana ia akan menikah jika yang dicintainya saja sudah memilih gadis lain.
"Ra?"
"Hmm."
"Kamu belum berencana mau nikah dalam waktu dekat ini?" Tanya Naima. Rara mengangkat kepalanya menatap Naima yang duduk di kursi penumpang di depannya.
"Rara nggak ada niatan buat nikah." Jawabnya asal.
Baik Naima maupun Gibran sama-sama menoleh dengan wajah kaget. Rara yang menyadari kesalahannya segera meralat perkataannya. "Maksud Rara belum ada niatan dalam waktu dekat."
"Ooh." Naima mengusap dadanya lega. Perkataan Rara hampir saja membuatnya emosi. Nasihat sepanjang tol Jagorawi sudah siap meluncur jika saja Rara tak segera meralat ucapannya. "Kenapa?"
"Belum ada calon," jawab Rara dengan jawaban sejuta umat. Bukan bohong juga, ia memang belum punya calon lalu akan menikah dengan siapa?
"Papa carikan, mau?" Gibran yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya angkat bicara.
Rara tersenyum usil, ia menggeser duduknya dan memajukan kepalanya diantara bunda dan papanya. "Papa serius mau cariin calon untuk Rara?" Gibran mengangguk yakin, Rara semakin tersenyum lebar. "Tapi ada syaratnya. Rara mau calon yang punya saham di Freeport, punya pertambangan di Kalimantan, punya bisnis perhotelan di Bali, punya bisnis industri di Batam, punya.."
"Dan kamu nggak akan punya suami sampai kamu tua," jawab Gibran gemas. Rara tertawa untuk pertama kalinya di hari yang berat ini.
"Tadi katanya Papa mau cariin," balas Rara. Ia menarik kembali tubuhnya bersandar di sandaran kursi.
"Kalau kriteria yang kamu sebutkan itu Papa nggak punya. Tapi kalau kamu mau yang Sholeh, paham agama, pekerja keras, bertanggung jawab, bisa bimbing kamu dan bahagiain kamu dunia akhirat, Papa punya. Kalau kamu mau, Papa bisa minta dia datang ke rumah kapan saja."
Rara terdiam dengan mata menatap Gibran tak percaya. Papanya hanya sedang bercanda kan?
♪♪♪
Matahari sudah lama tenggelam di ufuk barat. Menyisakan gelap malam yang terasa mencekam. Langit yang tadinya cerah berubah gelap, bintang-bintang tertutup awan hitam. Bahkan rinai hujan mulai turun membasahi bumi.
Rara tidak perduli begitu rintik hujan membasahi wajahnya. Ia masih setia berdiri di balkon kamarnya, menghirup udara yang terasa segar.Derit pintu menandakan seseorang baru saja memasuki kamarnya. Rara masih tak bergeming hingga seseorang berdiri di sampingnya. "Mbak itu punya pernapasan yang lemah, angin malam begini nggak baik untuk kesehatan."
Rara membuka matanya dan menemukan Qhaliz yang berdiri disampingnya. "Liz, kapan sampai?" Tanya Rara. Lelaki itu memang sudah tiga hari ini berada di luar kota untuk acara kampusnya.
"Baru beberapa menit yang lalu," jawab Qhaliz. "Mbak ngapain di sini?"
"Cuma lagi menghirup udara sejuk," jawab Rara tak sepenuhnya berbohong. Nyatanya udara malam ini memang terasa lebih sejuk dari malam-malam biasanya. Selain itu ia juga sedang menjernihkan pikirannya dari bayang-bayang Azlan.
"Mbak baik-baik saja?" Rara memutar wajahnya, matanya bertemu dengan mata Qhaliz beberapa saat, seutas senyum Rara terbit menghiasi wajahnya.
"Bohong. Qhaliz tau Mbak bohong. Sekeras apapun Mbak mencoba untuk terlihat tegar tapi Qhaliz tau perasaan Mbak."
Rara tertawa, "Sok tau kamu."
"Tau. Mbak kira Qhaliz kenal Mbak dari zaman kapan hmm? Dari zaman masak-masak pakai kompor plastik sampai zaman serba smartphone gini."
Sekali lagi Rara tertawa, merasa lucu dengan kompor plastik yang dibawa-bawa Qhaliz. Tidak adakah bahasa atau benda lain yang bisa Qhaliz jadikan bahan."Qhaliz tau, Mbak suka Bang Azlan, kan? Mbak nggak terima kalau Bang Azlan nikah sama Mbak Aiza?"
Tepat sasaran. Apa yang dikatakan Qhaliz memang itu adanya. Sisa tawa Rara tadi perlahan menghilang digantikan kedutan dibibirnya. Seburuk itukah akting Rara dalam menyembunyikan perasaannya sampai Qhaliz mengetahuinya."Allah mengambil sesuatu dari kita karena Allah tau bukan itu pilihan yang terbaik untuk kita." Qhaliz mengalihkan tatapannya menghadap Rara yang juga tengah menatapnya. "wa 'asā an takrahụ syai'aw wa huwa khairul lakum, wa 'asā an tuḥibbụ syai'aw wa huwa syarrul lakum. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu."
Qhaliz mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, "Terkadang kita butuh kehilangan untuk menyadari ada sesuatu yang lebih berharga di luar sana."
Rara menatap Qhaliz tak percaya. Selain nasihat dari Qhaliz yang terasa menusuk, Rara tidak percaya adiknya bisa sebijak ini.
"Sejak kapan kamu jadi bijak gini?" Tanya Rara heran.
Qhaliz terkekeh kecil, ia menyisir rambutnya dengan jemari tangannya. "Sejak mengenal seseorang," jawab Qhaliz bangga. "Mbak harus terima kasih sama temen Qhaliz atas petuahnya ini."
Rara mengangguk kecil sambil terkekeh, "Boleh, nanti kamu kenalin Mbak sama temenmu itu," jawab Rara asal.
"Serius mau kenal teman Qhaliz?" Tanya Qhaliz meyakinkan. Rara mengangguk ragu, mulai heran dengan tingkah Qhaliz yang mengherankan. "Oke, nanti Qhaliz kenalkan, dan Qhaliz yakin Mbak bakal terpikat melihatnya."
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Salam penuh sayang
Mira YuliaIg: @mira_yulia31
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Pelampiasan✔️
Novela JuvenilSPIN-OFF Aku (Bukan) Orang Ketiga Ini bukan lagi tentang kisah Naima, Gibran dan Hanum. Tapi tentang Asyura, putri Gibran. Tentang kisah cintanya yang lagi-lagi terenggut oleh sahabatnya sendiri. Akankah kisah cinta orangtuanya kembali berlaku padan...