Pagi ini cukup cerah. Para ibu-ibu sedang berkumpul sambil memilah-milah bahan makanan di sebuah pedagang sayur keliling sambil bercerita. Anak-anak berlari-larian menikmati akhir pekan ini.
"Mau kemana Ra?" Tanya Genta begitu melihat Rara keluar dari rumah. Lelaki itu sedang mengenakan sepatunya di kursi teras.
"Depan," tunjuk Rara pada pedagang sayur yang dikerumuni. Genta mengangguk lantas melanjutkan kegiatannya memasang tali sepatu. Rara menatap suaminya itu sejenak sebelum melanjutkan langkahnya.
Para ibu-ibu menyambut Rara senang. Selama kurang lebih sebulan tinggal di sini, Rara sudah cukup akrab dengan para tetangganya. Wanita dengan sanggul itu adalah ibu RT di tempat tinggalnya. Sedangkan wanita dengan daster motif bunga mawar itu adalah tetangga yang paling dekat dengan Rara. Bu Lastri namanya, usianya sepantaran dengan Bunda. Dan masih ada lagi para tetangganya.
"Nak Genta masih kerja akhir pekan gini Ra?" Tanya Bu Lastri. Rara mengikuti arah pandang Bu Lastri pada sosok Genta yang kini sedang berbincang dengan Pak RT yang sedang mengendong cucunya.
"Nggak Bu. Bang Genta mau ke rumah orang tuanya," balas Rara.
"Kamu tidak ikut?" Kini giliran Bu RT yang bertanya. Rara menggeleng sambil tersenyum kecut. Entah mengapa Rara takut untuk bertemu dengan mertuanya itu lagi.
"Udah isi, nduk?"
"Hah?" Rara membulatkan matanya kaget. Wanita paruh baya di samping Bu Lastri tiba-tiba menanyakan hal yang tidak terduga. "Oh itu, belum ada rezeki Bu," balas Rara.
"Ih, Bu Rita. Namanya juga masih suasana pengantin baru, mau berdua-duaan dulu," sambar Bu Lastri sambil menggoda Rara dengan kedipan matanya.
"Ndak baik nunda-nunda rezeki. Lihat suamimu, sepertinya sudah sangat ingin punya anak," tambah Bu Rita sambil menunjuk Genta. Rara ikut memutar tubuhnya. Suaminya itu kini tengah menggendong cucu Pak RT yang baru berusia delapan bulan. Rara bisa melihat kebahagiaan terpancar dari sorot mata Genta.
Rara menunduk, ia marasa begitu bersalah pada Genta. Sudah lebih dari sebulan usia pernikahan mereka tapi Rara masih belum menjadi istri yang seutuhnya bagi Genta. Rara tau ini salah tapi Genta juga tidak pernah protes akan hal itu.
"Masih ada lagi Ra?" Rara tersadar begitu si pedagang sayur menyodorkan belanjaannya. Rara menggeleng dan menerima kantong kresek itu. Setelah membayar, Rara segera pamit. Wajahnya terlihat murung, bahkan ia mengabaikan panggilan Genta dan terus melangkah menuju dapur.
Genta yang merasa heran dengan tingkah Rara pamit undur diri dan menyusul istrinya itu. "Kenapa murung?" Tanya Genta pada Rara yang sedang bersandar di dinding pembatas antara ruang tamu dengan dapur.
"Nggak apa-apa. Abang nggak jadi berangkat?" Tanya Rara mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sudah, jangan dipikirkan apa yang dikatakan ibu-ibu tadi. Yang jalanin ini semua kan kita." Genta mengusap puncak kepala Rara membuat gadis itu salah tingkah. Rara bisa merasakan darahnya berdesir karena perlakuan Genta. Beberapa waktu terakhir entah mengapa ia selalu merasa salah tingkah setiap kali berada di dekat Genta. Bahkan terkadang pipinya akan terasa panas setiap kali matanya menatap manik mata Genta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Pelampiasan✔️
Fiksi RemajaSPIN-OFF Aku (Bukan) Orang Ketiga Ini bukan lagi tentang kisah Naima, Gibran dan Hanum. Tapi tentang Asyura, putri Gibran. Tentang kisah cintanya yang lagi-lagi terenggut oleh sahabatnya sendiri. Akankah kisah cinta orangtuanya kembali berlaku padan...