Qhaliz baru saja pulang dari kampusnya. Motornya melaju dan berhenti di halaman sebuah mesjid. Ini sudah sedikit terlambat untuknya melaksanakan kewajibannya. Mesjid sudah mulai sepi oleh jamaah tapi banyak anak-anak yang sedang mengaji di sana.
Setelah melaksanakan kewajibannya, Qhaliz memilih duduk di sudut mesjid. Lantunan ayat suci Al-Quran terdengar dari anak-anak yang sedang mengaji. Sungguh pemandangan yang sangat indah.
"Qhaliz?" Qhaliz membuka matanya. Entah berapa lama Qhaliz berada dalam posisi ini sampai ia tidak sadar anak-anak sudah meninggalkan mesjid. Di hadapannya ada Genta yang baru saja kembali dari mengajar anak-anak.
Qhaliz memutar tubuhnya menghadap Genta yang sudah mengambil tempat duduk tepat dihadapan Qhaliz. "Baru pulang kampus, Liz?""Iya Bang," jawab Qhaliz.
"Gimana Kabar Om sama Tante?"
"Alhamdulillah, baik."
Genta mengangguk, jari-jemarinya saling bertaut. "Kabar Mbak Rara?" Tebak Qhaliz.
"Eh, itu.."
Qhaliz tertawa. Menanyakan kabar kedua orangtuanya hanya kecohan dari Genta untuk menanyakan keadaan Rara tanpa menarik perhatian Qhaliz mengapa ia menanyakan perihal Rara. Tapi Qhaliz tidak buta untuk menyadari hal itu, dari gelagat Genta saja ia sudah bisa menebak. "Mbak Rara baik, ya walaupun suasana hatinya lagi nggak baik akhir-akhir ini."
Qhaliz menegakkan tubuhnya, matanya menatap Genta. "Bang, Abang suka Mbak Rara, kan?"
Genta terdiam, tidak menyangka kalau Qhaliz akan menanyakan hal itu padanya. Genta tak bisa pungkiri kalau ia memang mencintai Rara bahkan sejak dulu, sejak pertama kali mereka bertemu di parkiran.
"Kalau Abang memang mencintai Mbak Rara, kenapa Abang tidak datang melamar Mbak Rara?"
Genta menarik napas panjang dan tertawa kecil. Tangannya menepuk bahu Qhaliz, "Melamar itu bukan perkara yang mudah Liz. Butuh persiapan yang mantap. Lagian, saat ini Abang tak punya apa-apa, abang takut tidak bisa membahagiakan Rara."
Kalau ikut hatinya sudah lama Genta ingin datang ke rumah Rara. Tapi dengan keadaannya yang seperti ini, apa mungkin Rara dan keluarganya bisa menerimanya? Genta bukan lagi Genta yang seperti dulu, hidupnya saja tak tentu arah.
"Bang, Abang lupa kisahnya Sayyidina Ali saat melamar Siti Fatimah? Beliau juga tidak punya apa-apa saat itu. Tapi apa? Rasullullah malah menerima lamarannya padahal ada sahabat Rasulullah yang lebih berada dari Sayyidina Ali." Qhaliz balik menepuk bahu Genta. "Harta bukan satu-satunya hal yang menjadi tolak ukur Bang. Tapi kesungguhan Abang. Qhaliz yakin, tidak ada hasil yang akan mengkhianati prosesnya. Cobalah, kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi tanpa mencobanya."
Genta terdiam, memikirkan ucapan Qhaliz. Apa yang lelaki itu ucapkan ada benarnya. Apa mungkin Genta memang harus mengikuti saran Qhaliz untuk mencobanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Pelampiasan✔️
Novela JuvenilSPIN-OFF Aku (Bukan) Orang Ketiga Ini bukan lagi tentang kisah Naima, Gibran dan Hanum. Tapi tentang Asyura, putri Gibran. Tentang kisah cintanya yang lagi-lagi terenggut oleh sahabatnya sendiri. Akankah kisah cinta orangtuanya kembali berlaku padan...