Sudah beberapa hari ini Genta selalu dirundung kegelisahan. Pertanyaan Qhaliz tempo hari selalu mengusiknya. Setiap malam ia tidak pernah absen melakukan istikharah, meminta jawaban terbaik dari Sang Pemilik Hati. Di satu sisi Genta mantap ingin meminang Rara, perempuan yang sudah memikat hatinya sejak pertama kali melihatnya di parkiran, sedangkan di satu sisi yang lain keadaannya yang seperti ini membuatnya ragu apakah ia bisa membahagiakan Rara.
Akhirnya kegundahan itu membawa Genta untuk menghubungi ustadz Hasan. Lelaki itu terdengar bahagia begitu mendengar niat yang disampaikan Genta. "Apa yang membuatmu Ragu?"
"Keadaanku Ustadz. Aku takut aku tidak mampu membahagiakannya. Hidupnya selama ini serba berkecukupan, sedangkan hidup bersamaku mungkin ia tidak akan merasakan hal itu lagi."
Seberapa besar pun rasa Genta untuk memiliki Rara tak membuatnya ingin mengajak wanita itu hidup dengan segala kesusahan. Ia ingin memberikan segala yang terbaik untuk Rara.
Dari seberang panggilan ustadz Hasan tertawa. "Kenapa kamu ragu dengan itu? Apa kamu meragukan ketetapan Allah? Rezeki itu ada di tangan Allah. Tujuanmu menikah itu apa sebenarnya?"
"Karena Ibadah Ustadz, menyempurnakan separuh iman saya," jawab Genta tegas.
"Nah itu. Pernikahan itu untuk ibadah bukan karena materi. Dan bukankah Allah sudah berfirman bahwa 'Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui'." (QS. An-Nuur:32)
"Jadi apalagi yang kamu ragukan?"
Kedua sudut bibir Genta tertarik membentuk sebuah senyuman. Tiba-tiba rasa ragu itu hancur berkeping digantikan rasa yakin. Ya, Genta telah memantapkan hatinya. Inilah jawaban dari istikharahnya selama ini."Jadi, kapan kamu berniat melamar gadis beruntung itu?"
♪♪♪
Setelah mendengar jawaban dari Genta, ustadz Hasan akhirnya memutuskan untuk berangkat menuju Jakarta hanya untuk menemani Genta untuk menjemput hatinya. Gadis yang akan menemaninya menjemput ridho Allah. Gadis yang akan berjalan disampingnya dalam membangun generasi dakwahnya.
Di atas sofa berwarna coklat itu Genta duduk dalam gelisah. Ini mungkin bukan yang pertama kalinya ia bertemu dengan Gibran tapi malam ini terasa begitu berbeda. Jantungnya berdegup kencang padahal Gibran hanya duduk diam dengan seulas senyuman.
"Sudah lama saya menunggu kedatanganmu untuk melamar putri saya." Genta mendongak dengan kedua pupil melebar. Telinganya tidak salah dengar bukan?
"Sebenarnya Ustadz, sejak pertama kali melihat Nak Genta, saya sudah tertarik untuk menjadikannya menantu saya. Jadi saya sudah tidak ada alasan untuk menolak lamaran Nak Genta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sekedar Pelampiasan✔️
Teen FictionSPIN-OFF Aku (Bukan) Orang Ketiga Ini bukan lagi tentang kisah Naima, Gibran dan Hanum. Tapi tentang Asyura, putri Gibran. Tentang kisah cintanya yang lagi-lagi terenggut oleh sahabatnya sendiri. Akankah kisah cinta orangtuanya kembali berlaku padan...