Bab XI

416 58 3
                                    

Sudah seminggu sejak pernikahan Aiza, sudah seminggu ini pula Rara merasa kesepian di kantor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah seminggu sejak pernikahan Aiza, sudah seminggu ini pula Rara merasa kesepian di kantor. Tidak ada seseorang yang selalu merecoki pekerjaan Rara ataupun seseorang yang sering merengek ingin membeli bakso di depan kantor. Hal ini pula lah yang membuat Rara memilih makan siang di rumah kali ini.

Setelah menyantap makan siang yang sudah dihidangkan bundanya, Rara mengistirahatkan tubuhnya sejenak di sofa ruang keluarga. Matanya terasa lelah karena berkutat dengan laptop sedari pagi.

"Ra?" Baru saja Rara akan terlelap Bunda datang dengan sebuah kotak makanan di tangannya. Rara mengusap matanya dan bangkit dari rebahannya. "Kamu antar ini ke Papamu ya!" Naima menyodorkan kotak makan itu pada Rara.

"Tumben Papa tidak makan siang di rumah, Bun?" Tanya Rara.

"Lagi sibuk katanya, nggak sempat pulang."

"Ya udah, Rara berangkat sekarang ya. Assalamu'alaikum."

Sofa empuk itu nampaknya harus menunggu Rara. Ia menjalankan mobilnya di tengah kemacetan di jam makan siang seperti ini. Lima belas menit yang seharusnya ia butuhkan berubah menjadi empat puluh lima menit.

Setelah mengetuk pintu ruangan Sang Ayah, Rara mendorong pintu kecoklatan di depannya. Di balik meja besar itu duduk seorang lelaki paruh baya yang masih terlihat gagah. Kaca mata bertengger di hidung mancung miliknya.

Rara tersenyum kecil, sesibuk apa lelaki itu sampai tidak menyadari kedatangannya. "Pantas Bunda suka cemburu sama laptop Papa itu." Ucapan Rara menarik perhatian Gibran. Lelaki itu tertawa kecil dan menggeser pekerjaannya ke sudut meja. "Jangan terlalu memanjakan istri kedua Pa, inget di rumah ada istri tua," kelakar Rara. Gibran tertawa renyah, Rara ikut tersenyum.

"Apa yang membawa putri Papa kemari?"

Rara menarik sebuah kursi dan menjatuhkan dirinya di sana. Kotak makan siang pemberian bundanya Rara sodorkan ke hadapan Gibran. "Dari istri tua Papa yang nggak mau Papa sakit."

"Kamu ini Ra." Gibran membuka kotak makan pemberian Rara. Aroma masakan menguar menggelitik penciumannya. "Bundamu selalu tau apa yang Papa suka."

Rara mencebik kesal, bisakah kedua orang tuanya itu tidak menceritakan keuwuan mereka, membuat jiwa jomlonya meronta. "Ya sudah, silahkan Papa lanjutkan acara kencan Papa dengan si kotak itu," tunjuk Rara pada laptop Gibran yang masih menyala. "Rara mau balik ke kantor dulu."

Setelah mengecup pipi Gibran, Rara segera berlalu meninggalkan ruangan papanya itu. Selama perjalanan menuju tempat parkir, Rara memainkan ponselnya, mengecek beberapa pesan dari pelanggannya.

"Rara?" Mendengar namanya disebut, mau tidak mau Rara mengalihkan fokusnya dari ponsel. Tepat dua meter di depan Rara berdiri sosok yang sama sekali tak ingin Rara temui saat ini. Siapa lagi kalau bukan Azlan. Tapi apa yang laki-laki itu lakukan disini?

"Kamu ngapain disini?" Tanya Azlan ramah. Senyum menghiasi wajahnya, senyum yang dulu adalah candu bagi Rara, senyum yang dulu pernah menggetarkan hatinya.

"Ketemu Papa," jawab Rara mencoba untuk biasa saja, padahal dalam hati ia ingin menangis mengingat lukanya.

"Papa? Pak Gibran?" Rara mengangguk. "Jadi Pak Gibran itu papa kamu?" Sekali lagi Rara mengangguk. "Ya ampun kebetulan sekali ya. Aku baru saja dipindahkan kemari hari ini, ternyata Papa kamu pemimpin di sini."

♪♪♪

Rara menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Keningnya bertopang pada kepalan tangan yang dia tumpukan di atas meja. Bayang Azlan kembali membayang di pelupuk matanya.

"Aiza apa kabar?"

"Dia baik, Alhamdulillah," jawab Azlan dengan seulas senyuman. Rara sejenak memperhatikan wajah itu. Kebahagiaan jelas terpancar dari wajahnya seolah-olah dia begitu beruntung mendapatkan Aiza.

Bodoh. Memang apa yang Rara harapkan. Wajah sedih dan penyesalan Azlan? Gila.

Rara mengusap wajahnya frustasi. Ada apa dengan dirinya? Kenapa bisa-bisanya ia berpikir seperti itu. Apa yang ada dalam otaknya saat itu. Mereka sudah bahagia, untuk apa Rara mengharapkan Azlan lagi, untuk menyakiti Aiza? Tidak, tidak akan pernah.

"Mbak Rara?"

"Hmm?" Rara mengangkat kepalanya, seorang perempuan dengan kerudung abu-abu berdiri di hadapannya. "Ya, Nia?"

"Ini bon pembelian atas nama Pak Rifky yang Mbak minta tadi pagi." Nia, salah satu karyawan Rara dan Aiza menyerahkan selembar kertas kearahnya.

"Oh iya, terima kasih Nia." Nia mengangguk dan pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Rara menghirup napas panjang dan menghembuskannya pelan. Sudah cukup ia memikirkan Azlan, ia tidak boleh larut dalam luka ini, perjalanan hidupnya masih panjang. Seperti apa yang Qhaliz katakan, Allah mengambil sesuatu untuk menggantinya dengan yang lebih baik.

♪♪♪

Aroma bawang goreng membawa langkah Azlan menuju dapur. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman begitu melihat punggung seorang perempuan yang sedang asik dengan penggorengan hingga tidak menyadari kedatangannya. Azlan mencolek bahu Aiza membuat gadis itu terlonjak kaget, hampir saja spatula ditangan Aiza mendarat di pipi Azlan.

"Hmm, untung aja spatula Aiza nggak cium tuh pipi. Lagian masuk rumah bukannya ngucap salam malah ngagetin," omel Aiza dan kembali fokus dengan masakannya.

Azlan menumpukan tangannya di meja dapur. "Kamu yang terlalu asik sampai nggak sadar Mas masuk rumah."

"Eh, iya kah?" Tanya Aiza yang dibalas anggukan oleh Azlan. Lelaki itu mencomot satu tempe goreng yang baru selesai Aiza goreng. "Mas, cuci tangan dulu. Baru juga dari luar, itu kuman nempel dimana-mana."

Azlan terkekeh, ia menjepit goreng tempe tadi di mulutnya dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan. "Ai?"

"Hmm?"

"Kamu kok nggak bilang kalau Pak Gibran itu papanya Rara?" Tanya Azlan mengingat pertemuannya dengan Rara siang tadi.

"Loh, Mas baru tau? Ku kira sudah tau," jawab Aiza. "Jadi tadi Mas tadi ketemu Rara?"

"Iya, dia habis ketemu papanya."

"Hmm, sudah seminggu Aiza nggak ketemu Rara, jadi kangen." Aiza tersenyum sambil membayangkan wajah sahabatnya itu. Ia rindu mengusili dan merecoki Rara, kebiasaannya selama ini. Aiza tiba-tiba teringat sikap Rara beberapa hari belakangan sebelum pernikahannya, sebenarnya ia mengkhawatirkan gadis itu, tapi acara pernikahannya telah menyita perhatiannya hingga lupa pada Rara.

 Aiza tiba-tiba teringat sikap Rara beberapa hari belakangan sebelum pernikahannya, sebenarnya ia mengkhawatirkan gadis itu, tapi acara pernikahannya telah menyita perhatiannya hingga lupa pada Rara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Salam penuh sayang
Mira Yulia

Ig: @mira_yulia31

Bukan Sekedar Pelampiasan✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang