07 - Kasus penyakit.

150 16 0
                                    

Tekan bintang terlebih dahulu
sebelum kalian membaca cerita ini.

Terima kasih ><


°°°°

"Kalian nanti mau lanjut kuliah profesi Ners?"

Gue dan Wafa saling bertatapan setelah Yuna ngomong gitu.

Kuliah lagi? lulus S1 aja mau mati rasanya apalagi harus lanjut ke Ners.

"Iya," jawab Wafa. "Percuma nggak sih kalau S1 tapi ngga dilanjutin lagi. Nanti yang ada gue jadi perawat umum, gue kan maunya jadi perawat bedah."

"Denger kata bedah aja gue mau mual rasanya," cetus gue. "Ngga tau mau lanjut Ners atau ngga."

"Gue pasti lanjut sih," sambung Yuna. "Gue udah jatuh cinta sama ilmu keperawatan sejak SMK, jadi sayang kalau ngga diterusin ke profesi Ners."

Gue cuma ber'oh' aja menanggapi dua teman gue yang pintar ini.
Kadang gue merasa malu karena bisa dekat dan berteman sama orang kayak mereka.

Tapi bukankah itu benefitnya punya teman? saling menguntungkan.

"Lo serius ga mau lanjut Ners?" tanya Wafa ke gue.

"Ga ada bayangan mau ke sana," jawab gue jujur.

"Hmm," Yuna bergumam. "Lo ga mau gitu jadi perawat anak, perawat bedah, perawat anastesi?"

Gue nyengir aja.

Jadi perawat bedah? Nggak, gue ga kuat ngeliat organ dalam dan aroma darah ketika gue berada di ruangan OP nanti.
Perawat Anak? Nggak juga. Gue ga sesuka itu sama anak kecil karena menurut gue mereka itu berisik dan terlalu nyebelin buat orang yang sensian semacam gue.

Ngomong-ngomong sekarang gue lagi di kantin fakultas anak FIK.
Sebenarnya kantin ini agak kecil dari kantin fakultas lain seperti Teknik atau jurusan umum lainnya.

Mungkin karena mahasiswa dijurusan FIK terbilang lebih sedikit daripada fakultas lain jadinya kantin ini dibuat lebih kecil.

"Mau beli boba ga?"

Tiba-tiba banget gue ngidam boba yang ada di kantin fakultas teknik.
Karena di sini ga ada yang jualan boba, sad banget.

"Nggak ah," tolak Yuna. "Kantin fakultas teknik kan jauh. Gue mager."

Wafa juga menggeleng tanda dia nggak mau juga.

"Ra, gimana lo udah ambil kasus penyakit buat dijadiin pathway nanti?"

Pertanyaan dari Yuna membuat mood gue turun seketika.
Kenapasih orang-orang sibuk membahas suatu hal yang lagi gue hindari?

"Hehehe," gue meringis. "Belum. Gue bingung mau ambil kasus apa."

"Oh iya lo udah dapat berita baru dari grup kelas?"

Pertanyaan dari Wafa membuat gue menggeleng.
Kabar apaan? gue aja ga tahu apa-apa kejadian digrup terlalu ramai jadinya gue malas scroll.

"Buat bikin kasus penyakit, nggak ada yang boleh sama," kata Yuna sambil baca whatsapp dilayar ponselnya.

Gue agak bingung? ga boleh sama apanya?

"Apanya yang nggak boleh sama, Yun?"

"Nama kasus penyakitnya," jawab Yuna. "Misalnya dikelompok lo udah ada yang ngambil penyakit Batu Ginjal, nah ga ada yang boleh makai penyakit batu ginjal lagi."

Duh mampus gue.
Gue kan nggak tahu kelompok gue pada ngambil penyakit apa.

"Lah Ra lo mau kemana?" teriak Wafa ketika gue jalan terburu-buru karena mau menemui seseorang.

"Nemuin si Alin, mau liat kelompok gue pada ngambil kasus apa."


Nggak susah nemuin Alin di Universitas yang besar ini. Dia biasanya selalu di kantin FK atau ngadem diperpus.

Seulas senyum mengembang dibibir gue karena melihat Alin yanng sedang minum kopi di kantin FK.

"Oy, Alin!" teriak gue menghampirinya.

Alin sedikit tersedak karena ngeliat gue lari-lari kayak dikejar setan.
"Buset dah," dia ngambil tissue. "Lo ngapain sih? pake lari-lari segala."

FYI aja ya, Alin ini laki-laki dia punya nama asli Guanlin. Tapi gue lebih suka manggil dia Alin dari jaman kita maba dulu.

"Mau liat data dong," gue duduk di depan Alin.

"Data apaan weh?" dia natap gue heboh. "Jangan manggil gue Alin dong, berasa cewe tahu."

"Hehehe," gue nyengir. "Data siapa aja yang udah ngambil kasus penyakit dikelompok 1."

Alin ber'oh' lalu dia membuka buku catatan yang berukuran sedang.

"Nih," dia menyodorkan buku itu. "Cuma lo yang belum ngambil kasus penyakit."

Gue natap datar wajah Alin. Tanpa dia kasih tahupun, gue juga udah tahu karena nama gue diboldin sendirian.

Gue perhatiin dengan seksama tulisan yang gue baca.
Inimah kasus penyakit yang gue pengenin udah ada yang ngambil semua.

Terus jadinya gue harus ngambil kasus penyakit apaan anjir kalau udah diambil semua sama anak-anak yang lain.

"Fyi aja Ra," Alin natap gue. "Kasus penyakit ini rata-rata dipiihin sama Kak Nandra, katanya sih sesuai dengan kemampuan mereka jadinya mereka nurut buat ngambil kasus yang disaranin sama Kak Nandra."

Gue cengo.

Apa-apaan anjir?!!

Kalau mereka semua dipilihin kasus penyakit yang gampang, kenapa gue dipilihin kasus penyakit yang susah coba?
Ga adil banget.

"Kok gitu sih?!" protes gue.

"Ya lagian kenapa lo waktu ga datang? waktu itu kan lo kelompok satu, pasti dapat kasus yang gampang." Kata Alin nadanya agak nyolot.

"Terus sekarang gue harus gimana?"

"Temuin Kak Nandra sana, lo juga pasti akan dikasih saran penyakit sama dia."

Kalau gue nemuin Kak Nandra pasti gue disuruh pilih diantara kasus penyakit yang waktu itu.

"Ogah ah," tolak gue.

Alin kembali menyeap kopinya acuh.
"Ya terserah lo sih," celetuknya. "Gue cuma menyarankan. Deadline tugasnya itu sebentar lagi kalau lo cuma leha-leha dan bingung mau ngapain."




Sialan.

Tau gini gue ogah banget masuk jurusan keperawatan.

Asisten Dokter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang