17 - Denial.

115 13 1
                                    

Tekan bintang terlebih dahulu sebelum kalian membaca cerita ini.

Terima kasih ><

_____

Akhirnya bimbingan skripsi gue selesai juga. Setelah drama buat jadwal sama dosen terus dosennya suka tiba-tiba ghosting, akhirnya hari ini gue selesai bimbingan skripsi untuk pertama kalinya.

Seperti biasa, kalau abis dari kampus gue selalu pulang naik busway. Tapi nggak ada pilihan selain harganya yang murah buat anak kost macem gue.

Oh, ya gue belum cerita ya? gue anak rantau di Kota Jakarta ini. Aslinya gue adalah orang Subang.
Gue keterima di kampus kuning karena gue ditolak Ahli Gizi di Universitas Padjajaran, universitas impian gue dari dulu.

Ya sebenarnya nggak penting juga sih gue ceritain tentang diri gue sendiri. Iya ga? iyalah.

Sekarang gue nunggu buswaynya sekitar 10 sampe 15 menitan.
Sebenarnya perut gue lapar tapi karena gue mager buat beli makanan yaudah gue mutusin buat bikin mie instan nanti setelah sampe dikostan.

Puk.

Gue noleh ke belakang, memastikan siapa yang menepuk bahu gue. Dan kalian tahu itu siapa?
Ya, Kak Nandra ternyata.

"Kamu kok nggak whatsapp saya buat nganterin kamu pulang?"

Lah anjir lo siapa? gue pengen jawab kayak gitu.
Nggak deng, mana berani gue HAHAH.

"Kan kita nggak satu arah," alibi gue. Kak Nandra pindah posisi jadi berdiri disamping gue.

"Ya nggak apa-apa, udah biasa juga, kan?" cetusnya.

"Yaudah ayo Kaka anterin pulang." Tanpa persetujuan dari gue, Kak Nandra narik tangan gue dan membuat gue mengikuti langkah kakinya yang lebar.

Barusan, itu first time dia nyebut dirinya Kakak setelah kenal sama gue.
Biasanya dia selalu nyebut dirinya Saya.

____

Krauk krauk krauk.

"Kamu laper?"

Anjing dasar perut nggak tahu diri. Masa harus bunyi disaat kayak gini sih?

"Nggak kak," bohong gue tanpa menatap Kak Nandra.

Sekarang, gue masih berada didalam mobilnya Kak Nandra. Karena Jakarta selalu macet, membuat perjalanan yang tadinya sebentar bisa jadi lama banget.

"Kamu lucu deh," Kak Nandra ngomong sambil fokus ke arah depan. "Masa kamu bohong ke dokter, sih?"

Gue diem aja, nggak menjawab Kak Nandra atau membantah ucapannya.

Jalanan udah mulai lancar perlahan. Kebetulan di depan ada McDonalds dan mobilnya  Kak Nandra belok ke arah mekdi.

"Makan disini aja, ya?" tanya Kak Nandra setelah kita keluar dari mobil.

Gue ngangguk dan ngikutin langkah kaki kating gue itu.

"Kamu cari tempat duduk ya, mcd panas satu kan? sama mcflurry?" tanya Kak Nandra. Gue mengiyakan.

Bahkan, gue baru sadar Kak Nandra hafal menu makanan kesukaan gue di mcd. Padahal, kita jarang makan disini.
Paling sering gue makan bareng dia itu ya di kantin fakultas Kedokteran.

_____

"Oy!"

"Anj-" si Yuna ternyata yang nepuk bahu gue.

"Kenapa lagi sih lo? praktikum udah didepan mata, loh," seru Yuna. "Lo udah belajar? ada masalah apasih sampe cemberut gitu?"

Yuna ternyata sadar kalau gue hari ini emang kebanyakan melamun.
Dan ketika dikelas tadi gue bahkan nggak merhatiin materi yang dosen gue jelasin.

Gue emang lagi kepikiran satu hal.
Ya, Kak Nandra.

Setahun belakangan ini gue emang selalu denial. Gue selalu menyangkal kalau gue emang sudah cinta sama Kak Nandra. 
Dan setahun belakangan ini gue nuga baru sadar, kalau apa yang gue lakuin setiap harinya sama Kak Nandra itu layaknya seorang pasangan.

Nggak heran kalau semua orang yang melihat kita nyangkanya gue dan Kak Nandra adalah seorang pasangan.

"Yun, lo lihat gue sama Kak Nandra itu gimana?"

"Ya kayak orang pacaran," kata Yuna tanpa ragu. "Oh gue tau, lo suka ya sama Dokter Nandra?"

Dokter Nandra.
Gue juga baru inget kalau Kak Nandra memang minta dipanggil sama anak-anak yang dengan sebutan Dokter sekarang.  Kalau ada yang salah manggil, pasti dia bakalan marah.

Dan gue juga baru sadar kalau Kak Nandra nggak marah misalnya gue manggil dia dengan sebutan Kakak walaupun itu lagi didalam kelas atau praktikum.

So? udah sangat terlihat jelas kalau emang ada yang nggak beres sama hubungan kita berdua.


"Kalau lo emang suka sama Dokter Nandra, mending lo minta kepastian aja ra." Ucap Yuna.

"Kepastian?" tanya gue nggak yakin. Masa sih harus minta kepastian?

"Yaiyalah, bego." celetuk Yuna. "Kalian tuh udah deket selama setahun lebih dan lo baru sadarnya sekarang."

Setelah itu Yuna nasehatin gue dengan panjang lebar. Dia udah kayak marahin anaknya yang lagi ketauan pacaran.

Haruskah?
Haruskah gue ngomong perasaan gue ke Kak Nandra?






"Ira!"

Kak Nandra tiba-tiba nyamperin gue dan Yuna yang sedang ngopi di coffe shop ini.
Sekalian gue disini buat nyicil skripsi gue.

"Handphone kamu kok nggak aktif? untung zenly kamu tadi sempet aktif jadi Kakak bisa langsung ke sini." Kak Nandra narik kursi yang ada disebelah Yuna, lalu dia duduk disebelah gue.

Dan iya, gue sama Kak Nandra sampai tukeran zenly. Gila, kan? padahal kita nggak punya hubungan apa-apa.

"Iya kak sengaja aku matiin handphonenya. Biar fokus nyicil skripsinya, hehe." ucap Gue.

Kak Nandra langsung ngambil alih laptop gue.  Dia ngetik-ngetik sesuatu terus matiin laptop gue.

"Loh kak kok dimatiin? aku kan lagi nyicil skripsi, Kak." cetus gue nggak suka.

Kak Nandra natap mata gue. "Nanti kakak bantu," katanya. "Sekarang kamu ikut kakak dulu ya."

Ini nih salah satu hal yang nggak gue suka dari Kak Nandra. Dia selalu narik tangan gue tanpa minta persetujuan dari gue dahulu.

Sampai-sampai gue juga lupa kalau ada Yuna disana. Maaf banget ya Yun, huhuhu.




_____

a/n:

angkat tangan yang masih baca tulisan ini? 🤚

yhh betul tidak ada

Asisten Dokter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang