30 - My fav boy.

84 7 0
                                    

Tekan bintang terlebih dahulu sebelum kalian membaca cerita ini.

Terima kasih ><


_____


"Kalian saling kenal?" kata Wafa, melihat gue yang dari tadi masih bergeming.

"Dia teman aku pas smp," jawab Dio.
Cih, sejak kapan gue sama dia berteman?

"Gue cariin lo, khawatir." Kata gue jujur ke Wafa.

"Hah emangnya gue kenapa deh?"

Karena tadi gue merasa diawasin sama Dio, gue memutuskan buat bicara empat mata sama Wafa.

"Lo pasti udah denger, kan?"

Wafa mengerutkan dahinya, bingung. "Denger apaan?" dia nanya balik.

"Gino," jawab gue kemudian. Wafa lalu menghela napas.

"I know that, makanya gue ke sini." Jawabnya.

Tanpa berbicara sepatah kata apapun gue memeluk Wafa. Mencoba memberi dukungan lewat pelukan. Gue tahu dia pura-pura buat baik-baik saja.

"Sejauh apapun lo menghindar, sejauh apapun lo mencoba menangkis perasaan lo, gue tahu lo pasti sedih."

Wafa menghela napas, ia melepas pelukan gue. "I know my value, Ira. Dan Gino ngga pantes buat gue, iya kan?"

Jujur, gue ikut senang kalau Wafa nggak sedih atau menyalahkan dirinya.

"Pasti, lo bakalan dapet yang lebih dari Gino."

"Btw lo kenal sama Dio?" tanya Wafa kemudian. Gue mengangguk.

Mungkin Wafa lupa kalau Dio itu cowok yang gue sukain selama 6 tahun.
Ya memang sudah lama juga sih gue cerita ke dia, jadi wajar kalau dia lupa.

"Lo sendiri kok bisa kenal sama Dio?"

"Gue kenal dia dari dating app, niatnya biar gue nggak terlalu sedih."

Oh pantes dari kemarin Dio berkeliaran di sekitar sini. Mungkin mau meet up sama Wafa.

"Yah jadi ganggu nih gue?"

Wafa menggeleng. "Nggak kok, gue malah terharu lo bisa dateng ke sini. Padahal, kayaknya gue baru cerita sekali kan tentang kalau misalnya gue sedih gue pasti dateng ke tempat ini. Gue terharu lo inget hal kecil itu,"

Gue tersenyum menanggapi ucapan Wafa.
Mungkin omongan Kak Nandra ada benarnya juga.
Gue memang nggak terlalu pintar dalam hitung-hitungan, tapi gue selalu ingat hal kecil yang disampaikan orang-orang kalau lagi curhat sama gue.

Setelah itu gue berpamitan sama Wafa.
Karena dia lagi first date jadinya gue nggak mau menganggu acaranya Wafa.

Agak shock juga sih ternyata mereka saling kenal. Cuma ya nggak apa-apa kok, tenang.

Gue nggak tahu dunia sesempit itu atau gimana.
Ketika gue sudah sampai di lobby mall dan hendak memesan grab, tiba-tiba Kak Nandra muncul tepat di depan mata gue.

Dia menatap gue dan napasnya terengah-engah. "Hp kamu, lain kali jangan dimode silent terus."

Gue membuka handphone gue dan melihat ada sepuluh lebih panggilan tak terjawab dari Kak Nandra.

"Kakak ngapain ke sini?"

Dia mendekat, bau parfum yang sangat gue sukai tercium. "Aku khawatir," jawabnya.

Gue menepuk dadanya pelan, mengalihkan rasa salting. "Aku ke sini cuma sebentar kok. Lagian bukannya kakak sibuk sama kerjaan?"

"Kerjaan menjadi nomor kesekian ketika handphone kamu mati, Iryanna."

How cheesy, gue nggak bisa menahan senyuman gue.

"Ayo makan, aku lapar."

Begitulah cara Kak Nandra menyampaikan rasa sayangnya.
Dia memang nggak selalu bilang i love you atau membelikan barang-barang mewah.
Tapi dia selalu care sama gue. Dia selalu mastiin gue makan tepat waktu, selalu mastiin kalau gue ada ditempat yang ia kenali.
Dia selalu mastiin kalau gue senang. Dan dia siap menjadi orang pertama yang mendengarkan semua keluh kesah yang gue alami disetiap harinya.

Kak Nandra mungkin bukan tipe cowok romantis, tapi gue suka.
Gue sangat suka cara dia mentreat gue dengan caranya sendiri.

_____

"Selamat Anandara Iryanna kamu dinyatakan lulus disidang kali ini."

Resmi, akhirnya gue mendapatkan gelar Ners dihari ini.
Setelah perjalanan panjang dan penuh perjuangan gue mendapatkan gelar itu.
Ya walaupun lanjutin kuliah profersi Ners cuna setahun sih.

"Terima kasih, proffersor."

Keluar dari ruangan sidang, perasaan gue bercampur aduk.
Di depan sana ada Kak Nandra yang menunggu gue dari awal gue masuk ke ruangan sidang. Ia memancarkan senyumannya.

"Lancar, sayang?"

Gue mengangguk, lalu Kak Nandra memeluk gue. Dia mengecup kening gue, "Congratulations, nurse Ira."

Nggak bisa tahan moment terharu ini, air mata gue meluncur begitu aja.
Melihat dia tetap ada disidang pertama dan sidang gue kali ini membuat gue tersadar, kalau dia memang secinta itu sama gue.

"Cengeng," ledek dia, tangannya menghapus jejak air mata diwajah gue.

"Selamat lulus dan happy anniversary ke yang tiga tahun, Anandara sayang."

Lagi, kak Nandra memeluk gue erat, bersamaan dengan jatuhnya air mata gue.

Bahkan gue aja lupa kalau hari ini ternyata tanggal jadian gue dan kak Nandra tiga tahun yang lalu.
Dia membawa bucket bunga dan bucket keju batangan. Karena dia tahu gue sesuka itu sama keju.

Mungkin dikehidupan sebelumnya gue pernah menyelamatkan negara makanya bisa dapat lelaki kayak kak Nandra.

He still my favourite boy.
Cowok yang paling gue sayangi selama tiga tahun ini dan mungkin akan gue sayangi untuk selamanya.












Sekarang, gue dan kak Nandra lagi menuju ke Bogor, kota kelahiran dia.
Sebenarnya gue masih malu buat main ke rumah orang tuanya kak Nandra, karena memang gue jarang main ke sana.

"Kenapasih mukanya kaku gitu?" Kak Nandra ketawa ngeledek. "Kan udah sering main juga ke rumah mertua kamu."

Mertua.

Apa-apaan?!

"Ih tetep aja malu tau, lagian aku juga jarang ke sana."

"Nggak apa-apa. Bunda nanyain kamu terus loh, aku jawab aja Iranya lagi sibuk buat sidang profesi Ners."

"Kok kakak nggak bilang?"

"Kamunya masih fokus buat lulus kan? aku ngga mau ganggu," ujarnya.

Sehabis itu gue nggak menanggapi ucapan kak Nandra. Pikiran gue kalut, deg-degan mampus mau ketemu orang tuanya kak Nandra.

"Abis ini kita ke Subang ya? biar kakak juga ketemu sama keluarga besar aku juga,"

"Ayo, sekalian aku ajak bunda ayah buat ngelamar kamu."

Niatnya gue mau bikin takut dia, kenapa jadi gue yang makin takut?
Tolong gue belum siap buat nikah muda.







TBC

Asisten Dokter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang