28 - Meet him.

80 7 0
                                    

Tekan bintang terlebih dahulu sebelum kalian membaca cerita ini.

Terima kasih ><

_____


"Mungkin kamu kurang dalam hal akademis," ucap Kak Nandra karena gue daritadi masih diam saja.

"Kayaknya kamu sendiri nggak paham sama passion kamu,"

"Apanya? menurut kakak juga gitu kan? pas awal kita ketemu juga kak—"

Kak Nandra menyela omongan gue. "No. Aku nggak suka kamu selalu ngebahas awal pertemuan kita,"

"Stop. Aku sayang kamu, jelas awal pertemuan kita itu aku nggak kayak sekarang."



Gue terdiam. Gue juga nggak paham kenapa hal kecil bisa membuat kita berantem.

"Passion kamu memang bukan dalam hitung-hitungan," Kak Nandra bersuara kembali. "Kamu lebih cenderung bisa membuat orang lain nyaman dengan kamu. Itu salah satu hal kenapa aku bisa sayang kamu."

"Maksudnya?"

Gue literally nggak paham apa yang diomongin sama Kak Nandra.


Dia tersenyum. "Kamu nggak sadar, ya? Azril, Alin, dan Gino itu teman kamu, kan?"

Gino bukan teman gue sih. Dia lebih tertarik menjahili Wafa dengan caranya sendiri.


"Aku bukan temen Gino,"

"Oke, bukan itu pointnya sayang." Kak Nandra menatap gue.

Anyway sekarang kita masih diruang tamu. Ini sudah jam enam sore tapi Kak Nandra belum pulang juga. Orang tua gue juga belum pulang kerja.


"Kamu itu punya sifat yang hangat. Kamu bisa membuat orang-orang temenan sama kamu dan merasa nyaman sama kehadiran kamu. Kamu juga orangnya nggak gampang menyerah. Inget awal-awal kamu frustasi banget ketika pelajaran pathway berlangsung?"



Gue bertahan dan nggak menyerah karena kasihan saja sih sama orang tua gue yang sudah bela-belain bayarin UKT gue yang mahal itu.

"Udah ah kak, ngelantur kalau ngomong."


"Jelas ada yang beda ketika aku memandang kamu. Sebenarnya ketika awal aku bantu kamu buat bikin pathway itu bukan keinginan dari bunda aku, itu pure keinginan kakak sendiri."

Litellary shock gue mendengar ucapan Kak Nandra barusan.
Anjir, berarti sudah dua tahun dong dia bohongin gue.

Tapi gue masih bergeming, biarin dia menjelaskan dulu. Toh, bantuan dia dimasa lalu sangat membantu gue buat sampai ke titik ini.


"Seperti yang kakak bilang diawal, kamu beda dimata kakak. Dan itu yang membuat kakak tertarik sama kamu, sayang."


"Cih, tertarik tapi kok dijadiin htsan sih,"
gue sengaja respon kayak gitu biar nggak keliatan salting.

"Ih nggak gitu Iraaa sayang," dia menarik gue ke pelukannya. Membiarkan gue menghirup aroma yang paling gue suka.

Gue juga membalas pelukannya. Kita bercanda dan ketawa lepas. Sampai-sampai gue nggak sadar kalau ada El yang melihat adegan dewasa tidak terduga.


"Astaga, kakak ipar lo ngapain cium kakak gue?!" kata El didepan kamarnya yang langsung terarah ke gue dan Kak Nandra.


_____

"Laporan kalian revisi ya,"




Revisi, revisi, revisi.
Mual banget gue dengernya.

Sekarang gue lagi ada kelas. Dengan Mr. Aby yang menjadi dosen. Dia baik sih, tapi perfectionis abis. Ya, kayaknya semua dosen memang gitu kan?

"Ayolah kalian tinggal beberapa bulan lagi menuju wisuda, jangan malas dan jangan lenga—"

Entah deh dia ngomong apa lagi. Gue dengerin tapi nggak menyimak. Lagian memang semua penyakit mahasiswa akhir, yang mau cepat-cepat selesai kuliah.

Habis itu dia suruh kita hapalin undang-undang yang serta sumpah keperawatan yang akan dilakukan nanti.
Tapi itu kan paa wisuda kelulusan, masih lama lagi.

"Ra," Yuna menoel gue dari belakang. "Ada loker tau, lo mau coba ngga?"


Gue menggeleng ke Yuna. Wisuda dan kelulusan masih lama, tapi mereka semangat banget buat memulai kehidupan baru. Padahal, gue mau merasakan liburan dulu sehabis kuliah profersi ini.

"Ah lupa gue," kata Yuna kemudian. "Lo kan ada Dokter Nandra, langsung pakai orang dalem." Candanya.


Gue cuma tersenyum tipis ke Yuna karena bingung mau jawab apa.
Pelajaran Mr. Aby sudah selesai. Habis ini gue dan anak kelas lainnya bakalan ke lab buat praktikum.
























Sehabis praktikum dan buat laporan, gue pulang ke rumah sendiri.
Tadi Kak Nandra bilang kalau dia nggak bisa jemput gue, banyak jadwal operasi katanya.
Ya gue memaklumi sih, toh dia juga kan dokter bedah. Pasti sibuk.


Gue melangkah ke halte busway. Sekarang sudah jam empat sore, jam-jam dimana semua orang pada pulang kerja.
Pasti ramai sih, cuma nggak apa-apa, sudah biasa.

"Ira?"

Deg.

Lo tahu rasanya ketika melihat orang yang selama ini lo susah lupain?
Dia Dio, orang yang gue cintai selama 6 tahun. Jauh ketika gue belum bertemu sama Kak Nandra.

"Lo bener Iryanna, kan?" tanyanya lagi.

Gue mengangguk. "Hi, Dio."

Dia tersenyum, menampilkan eye smilenya. "Masih inget ya ternyata," katanya.

Pertanyaan bodoh.
Jelas gue masih inget karena memang gue sekenal itu sama dia.
Cuma rasa sayang itu memudar ketika gue sadar kalau gue cinta sama Kak Nandra.

Justru gue yang harusnya bingung. Seinget gue rumah dia Bogor, kenapa dia bisa ada di Jakarta dan bertemu gue dihalte busway begini?


TBC

Asisten Dokter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang