01. Stairs Station

88 16 2
                                    

Seperti biasa, burung-burung berkicau setiap pagi, sinar matahari memancar melalui sela-sela tirai setiap rumah. Biarpun begitu, tidak banyak yang terbangun untuk melakukan aktivitasnya.

Hanya seorang pria yang sudah berpakaian seragam lengkap tengah menatap ke arah luar jendela, dia sedikit mendengus setelah melihat tempat tidurnya. Seorang wanita terbaring di sana, tidur dengan nyenyak dengan wajah tanpa dosa.

Apa yang telah dilakukannya semalam? Dia tidak mengingat apa-apa dan hanya berakhir di tempat yang sama dengan wanita itu, parahnya, kejadian tersebut tidak terjadi hanya sekali, tapi berkali-kali.

Dia tidak masalah bermain setiap malam, toh setiap pagi terkadang mendapat jatah sarapan secara percuma.

"Hei, kamu mau ke mana?" Seorang wanita memakai apron pastel itu menaruh panci di atas kompor, pertanyaannya tidak langsung dijawab. Pria itu hanya lurus menuju pintu keluar.

"Aku mau ke kantor," jawabnya.

"Terus sarapannya?"

Lagi dan lagi, dia tidak langsung menjawabnya. Setelah selesai memakai sepatu, dengan datarnya dia menatap pintu. "Aku sarapan di kantor."

~✔~

Stasiun. Tempat di mana penumpang ramai berkumpul di sekitar peron, menunggu gerbong kereta yang akan mereka tumpangi. Beberapa dari mereka  saling bersahutan dengan langkah kaki, sepatu mereka berbunyi setiap kali menaiki atau menuruni anak tangga.

Rico—begitulah kebanyakan orang memanggilnya—seorang karyawan biasa dengan hidup yang cukup kacau, bukan hanya hidupnya, kebiasaan yang dimiliki pria ini juga cukup buruk.

Jarinya terus meremas ujung mantel, perutnya sakit sekali, dia belum memasukkan sesuap makanan pun ke dalam mulutnya. Sejak pagi, suasana hatinya tidak terlalu baik.

Rico meraung pelan karena rasa sakit yang tidak bisa ditahan, berkali-kali mengeluh dan merutuki diri sendiri karena tidak makan sarapan sebelum berangkat.

"Ah!" pekiknya. Tanpa sengaja dia tersandung kakinya sendiri saat hendak menuruni anak tangga, tubuhnya terhuyung ke depan, seketika semua benda di sekitarnya menjadi lambat.

Ah, sial. Aku akan pingsan kalau sampai terjatuh, ucapnya dalam hati. Dia juga tidak mungkin berpegangan pada sesuatu untuk mengembalikan tubuhnya, jarak dia berdiri terlalu jauh dengan pegangan tangga.

Lantai sudah semakin dekat. Rico menutup matanya dan bersedia untuk menerima hal terburuk setelahnya. Tubuhnya sudah menegang untuk benturan keras setiap anak tangga, tapi tidak terjadi apa-apa. Dia tidak merasakan rasa sakit di bagian kepala, tangan, ataupun kaki.

Dalam hitungan detik, sesuatu mencekik lehernya. Kemejanya terasa seperti ditarik ke belakang, karena hilang keseimbangan, dia pun terjatuh. Suara batuk terdengar cukup keras di antara keramaian stasiun.

"Anda gak apa-apa?" tanya seorang gadis. Tatapannya datar, kedua matanya terlihat seperti seseorang yang jarang mendapatkan tidur nyenyak. Kalau dilihat dari pakaian yang dikenakannya, satu set seragam sekolah yang tertutup jaket hitam.

Rico yang masih berada lebih rendah dari gadis itu hanya bisa berkedip berkali-kali, tidak kunjung berdiri, gadis itu mulai menyodorkan tangannya. "Mari saya bantu berdiri," ucapnya lagi.

Pria itu menyambut sodoran tangannya dan mulai berdiri, dia sedikit menepuk-nepuk mantel yang sedikit kotor. "Ah, maaf. Terima kasih sudah menyelamatkan saya."

Dua Centang Biru [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang