Tidak ada hari yang lebih baik dari hari libur, ketika beberapa orang memang terbebas dari rantai pekerjaan dan memilih untuk mengistirahatkan diri di rumah. Membiarkan rasa malas memenangkan hari dengan tidak melakukan apa-apa. Hanya berkelumun dengan selimut tebal sepanjang hari.
Itu yang dia harapkan. Namun sayang, tidak semua ekspetasi menjadi kenyataan. Belum menerima sentuhan dari jari cahaya sang mentari, telinganya sudah lebih dahulu disambut suara pintu yang dibuka keras.
Seorang lelaki dengan tubuh kurang-lebih 170 senti berdiri di ambang pintu kamarnya, dada yang naik-turun mengatur napas serta tatapan tajam terpusat pada seorang gadis di atas ranjang.
"Woi! Lu mau tidur sampe jam berapa, hah!?" Lelaki itu menyalakan segala jenis pencahayaan yang ada di kamar gadis itu. Lampu meja belajar, lampu hias, lampu ruangan, dan yang terakhir gorden kamarnya dibuka lebar.
Nebula yang masih menutup matanya rapat mulai terganggu, dengan kasar dia membuka selimut yang membungkus dirinya. Rambut cokelatnya yang berantakan itu terlihat horor ketika ditemani dengan pandangan sadis andalannya.
"Sialan, ya. Gak bisa biarin gue tidur dulu, hm? Mumpung hari libur," keluhnya dengan nada berat. Cukup untuk mengirimkan setruman listrik pada lelaki tadi.
Ed Dan namanya, dia anak ke-2 dari keluarga Ed yang tersisa. Tentu selain kakaknya, Nebula, dan adik kecilnya yang masih berada di kelas satu menengah pertama. Sebagai tertua kedua, dia kadang memegang tanggung jawab lebih besar dari Nebula sendiri.
"Lu, sialan! Mentang-mentang hari libur malah tidur ampe siang, semalem lu ngapain aja?" tanya Dan.
"Ngerjain tugas! Noh, kalo lu pinter, kerjain biologi, fisika, ama matematika wajib gue." Nebula menunjuk ke arah meja belajarnya yang masih berserakan buku-buku pelajarannya, semalam dia tidak sempat merapikan benda itu karena sudah terlalu lelah.
Dan hanya menatap horor meja belajar Nebula, mendekatinya saja dia tidak mau, apalagi sampai mengerjakan sisa tugas rumahnya. "Gue aja baru kelas sembilan, lu lagi nyuruh gue ngerjain tingkat dewa."
Gadis yang masih membiarkan rambutnya acak-acakan itu menggaruk tengkuknya, dia menguap besar kemudian kembali menyusun bantal kecilnya.
"Lu kelas sembilan ternyata, kirain gue anak dari sekolah Tadika Mesra."
Dan tidak mengucapkan apa-apa, dirinya sudah terlanjur termakan emosi pagi setelah berdebat dengan kakak perempuannya itu. Dengan kesal dia menutup pintu kamar Nebula, suara kakinya pun terdengar menggema saat menuruni tangga.
"Anak Tadika Mesra mana ada yang tinggi kayak gue!!"
~✓~
Hari libur!
Siapa yang tidak suka hari seperti ini? Ah, kalian tidak asik. Di saat hari seperti inilah banyak sekali orang memberikan reward pada dirinya sendiri. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti tidur sampai sore, membeli makanan mahal yang enak, atau bepergian sendiri ke tempat kesukaan.
Hanya sekedar melepaskan stres dan penat, serta rasa jenuh setelah menatap padatnya jalan raya selama berhari-hari.
Hari ini, tepat di apartemen yang menjulang setinggi 20 lantai, seorang pria masih berkelumun dengan selimut tebalnya. Menghiraukan dering alarm yang sudah berbunyi selama lima menit.
Tangan kekarnya melayang di udara, dengan malas dia mematikan kotak jam digital di atas nakas. Embusan napas berat terdengar, dia enggan sekali untuk beranjak dari ranjangnya. Dysania-nya kembali kambuh setelah sekian lama, ah, apakah ini merupakan efek balas dendam kerja kerasnya pada hari libur?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Centang Biru [COMPLETED]
Teen FictionAku tidak menyesali perkataanku waktu itu, tidak seujung rambutku pun. Dengan perbedaan usia kami yang cukup jauh, dia terlalu gigih dengan apa yang diinginkan, tekadnya terlalu kuat untuk yang sudah lama berjuang sendirian. Demi menjaga keh...