12. Secret Feeling

21 9 0
                                    

Deru mesin penghangat ruangan mendominasi keadaan yang sunyi, Trifid hanya duduk di sofa bulatnya sambil menahan tubuh yang gemetar. Dari tempatnya, dia dapat melihat seorang pria sibuk berkutat di dapur. Lengan kemejanya dilipat seperempat dari panjang lengan aslinya, dalam beberapa menit kemudian dia datang dengan menaruh segelas kopi dan segelas susu hangat.

"Anda tidak meracuninya, 'kan?" tanya Trifid, gadis itu masih belum bisa melepaskan tatapan curiga pada pria di depannya.

"Saya mungkin pernah meracuni minuman mereka berdua, tetapi itu diri saya yang lama. Saya sudah keluar dari zona itu," jawabnya.

Dengan ragu, Trifid mengangkat gelas yang berisikan cairan hangat berwarna putih tersebut. Dia menyesapnya sedikit sebelum pada akhirnya meneguk susu hangat itu sampai tetes terakhir, tubuhnya mulai bereaksi menyerap uap hangat dari minuman yang dia minum tadi.

Di sebrangnya, seorang pria berambut silver duduk sambil bersandar pada sebuah kursi kayu. Menyesap cangkir kopinya, kemudian kembali menautkan jari-jari panjangnya. Begitu dia mencuri pandang ke arah Trifid, pria itu tertawa singkat. Dia tidak tahan melihat wajahnya yang terlihat sangat serius dan penasaran.

"Ayo kita bahas tentang phobiamu itu dulu," ucapnya.

Trifid menegakkan tubuhnya. "Kenapa tidak dengan tujuan utama Anda dulu? Kenapa Anda datang ke rumah saya sangat larut seperti ini?"

Pria pun ikut menegakkan tubuhnya, dengan pakaian yang lengkap dan sebuah tanda pengenal yang tersangkut pada tengkuknya, membuat pria itu terlihat lebih dewasa. 'Pedro Brown', dua kata itu tertulis cukup besar di permukaan tanda pengenal miliknya.

Pedro berdehem, sebenarnya dia tidak ingin langsung membahas tentang masalah utamanya mendatangi rumah Trifid di tengah malam seperti ini. Bisa saja dia menunggu sampai pagi atau siang, tetapi sudah pasti dia akan dengan cepat menolaknya karena dianggap mengganggu, terlebih rasa waspadanya yang masih berlebihan dengan insiden waktu itu.

"Kamu punya aichmophobia?" Pedro memaksakan diri.

Trifid melemparkan pandangannya sambil tersenyum. "Saya tidak mengakuinya, tetapi saya juga tidak membantahnya. Jadi, bisa dikatakan begitu," jawabnya, "saya hanya tidak kuat melihat benda tajam yang diarahkan ke arah saya."

"Kamu boleh jangan terlalu kaku ke saya, kita di sini lagi di luar jam kerja." Pedro sedikit menarik senyumnya.

Trifid tidak menyahuti apa-apa, kepalanya kembali ditolehkan ke sembarang arah. Pedro paham kondisi ini, ingin sekali dia segera pergi kembali ke tempatnya untuk beristirahat, kalau bukan karena keinginannya untuk memberontak, dia tidak akan datang ke tempat ini. Pria jangkung itu hanya memejamkan matanya sambil mengatur napasnya.

"Kenapa kamu dateng ke sini?" Suara Trifid tiba-tiba saja memecah keheningan, Pedro langsung mengangkat kepalanya untuk menatap lurus ke arah gadis tersebut. Sorot mata datarnya tidak bisa membohongi semburat merah merona di kedua belah pipinya.

"Apa kamu tadi manggil saya pake 'kamu'?" tanya Pedro terkejut.

Gadis itu sedikit tersentak, kemudian kembali memandang ke arah lain. "D-diam, dipanggil biasa salah, dipanggil format salah," gerutu Trifid.

Kekehan pelan terdengar dari arah Pedro, baru kali ini dia melihat pria seseriusnya terkekeh hanya karena hal konyol. Selama yang dia tahu, Pedro selalu saja dalam mode siap kerjanya, dia selalu menebak kalau bahunya akan terasa sangat kaku kalau dipijat.

"Maaf, saya gak bisa nahan ketawa saya. Kamu terlalu lucu, saya gemas," sahutnya. Pedro kembali mengembalikan dirinya seperti semula dan mulai menceritakan tentang tujuannya datang.

Sebelum dia mulai masuk ke inti, Pedro sempat menanyai keberadaan kakak laki-lakinya, Rico. Untunglah Trifid menjawab kalau si kakak sedang bekerja lembur, kemungkinan tidak akan kembali sampai besok malam.

Dua Centang Biru [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang