11. Shoot!

24 9 0
                                    

Matahari bersinar sangat terik, taman kota terasa cukup panas dan silau untuk sekumpulan anak sekolah. Seorang siswa dengan tubuh paling jangkung terus memandu yang lain, suaranya berubah menjadi lebih keras ketika dia menggunakan segulung kertas.

Nebula hanya terus diam berdiri di bawah pohon, tatapannya sangat kosong dan datar. Di kepalanya tidak dapat memikirkan apa-apa, tetapi dalam hatinya selalu saja ada satu hal yang mengganjal. Setiap kali dia bergerak, dia merasa tidak nyaman. Gadis itu hanya menghentakkan kakinya ke permukaan tanah berulang kali, membuat seolah lingkungan di sekitarnya terhenti dari waktu.

"NEBULA!"

"Eh, iya?" tanyanya terkejut. Seruan kakak kelasnya itu berhasil menarik lagi kesadaran yang perlahan mulai memudar.

"Kamu kenapa? Dari tadi dipanggil gak nyaut-nyaut," keluh kakak kelasnya. Teriakan keras namanya berhasil menarik perhatian orang-orang banyak, termasuk para pemain yang ikut hadir lainnya.

"Maaf, Kak. Tadi saya sedikit mikirin ayah saya yang di rumah sakit," kilah Nebula. "Selanjutnya apa? Ayo kita terusin," lanjut gadis itu sambil melambaikan tangannya, menandakan kalau tidak ada yang harus dikhawatirkan.

Beberapa siswa maupun siswi lainnya kembali pada kegiatan mereka masing-masing, Nebula mengembuskan napasnya berat. Dia langsung membenarkan pakaian yang sudah melekat di tubuhnya sejak pagi, berdiri di tempat yang sudah ditentukan dan mulai mengucapkan garisnya.

Begitu dia mendengar tanda dari kakak kelasnya, Nebula merubah cepat dirinya. Sorot mata tajam itu kembali digunakan, tubuhnya tegap berdiri tegas menghadap ke utara. Sempurna sudah dia berubah menjadi orang lain, baju panjang berwarna hitamnya dibalut oleh jas panjang selutut berwarna cokelat, kaca mata bergagang emas itu bertengker di hidungnya.

Nebula menggerakkan lengannya, dia menunjuk ke arah Anthro. "Andalah satu-satunya orang yang tersisa di lokasi, tidak bisakah Anda bekerja sama dengan tim penyelidik?" tanyanya lantang. Ant tidak menjawab, dia cukup terkejut dengan telunjuk Nebula yang terarah kepadanya.

"Kenapa Anda diam saja? Apakah ada dalang lain yang menyuruh Anda untuk menutup mulut? Kalau begitu saya bisa memberikan beberapa bukti agar Anda mau memberitahukan beberapa hal pada saya," ucapnya lagi.

Nebula berjalan maju beberapa langkah, tangannya diayunkan kasar ke sembarang arah. Dengan cepat dia menukar tangan kosongnya dengan sebuah balok kayu kecil yang tersimpan di dalam kantung jasnya, membayangkan kalau itu adalah senjata api. Dia mengarahkan balok itu tepat ke arah samping kirinya, tempat di mana seorang siswa lain berdiri di dekatnya.

"Saya tidak ingin melakukan kekerasan, jadi Anda dapat menyuruh mereka untuk memberikan ruang pada saya."

Nebula mengernyitkan keningnya, kemudian siswa yang sebelumnya hanya berdiri diam di sampingnya mulai mengunci lengannya dari belakang. "Lepaskan saya! Ini tidak ada di dalam perjanjian awal kita!"

Di tengah-tengah tubuh Nebula yang sedang meronta-ronta, sebuah telapak tangan besar dengan kain yang memenuhi permukaannya menghalangi pernapasannya. Membekap mulut dan hidung gadis itu sehingga tidak ada celah untuk bernapas. Perlahan-lahan gerakan Nebula pun terhenti, tangannya terjulur lemas, tubuhnya dijatuhkan dalam pelukan siswa di belakangnya.

"... dan CUT! Oke, hasil yang luar biasa banget! Kerja bagus, Nebula. Kita istirahat lima belas menit, terus lanjut lagi buat scene terakhir."

Nebula mengangguk mendengar perintah dari kakak kelasnya. Dia langsung kembali berdiri di dekat pohon yang cukup rindang, lalu duduk di atas akar yang menjulang keluar dari tanah. Dari jarak 4½ meter dia memperhatikan teman-temannya bergiliran untuk berlatih, terlihat radiasi panas dari sang matahari yang bersinar terik.

Dua Centang Biru [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang