Hari Minggu bukanlah waktu berleha-leha di atas kasur dengan segelas minuman dingin dan sekaleng keripik seperti kebanyakan orang, itu menurut Fasla. Saat ini ia tengah berkutat dengan alat-alat dapur, niatnya ingin membuat brownies coklat dengan bantuan Bi Irma. Tangannya dengan cekatan memasukan adonan ke dalam loyang yang sudah dilapisi margarin agar tidak lengket ketika diangkat.
"Bi, tolong bikinin kopi. Antar ke ruang kerja saya, ya," pinta Johan yang baru saja turun dari lantai atas.
Fasla tersenyum menatap Johan, wadah adonan yang semula berada di tangannya, ia letakkan di meja. "Aku aja yang buat, ya, Yah?"
Mendapat persetujuan dari Johan membuat Fasla kembali mengukir senyumnya. Falsa meminta wanita yang usianya jauh lebih tua darinya itu untuk melanjutkan apa yang ia kerjakan sebelumnya, sedangkan ia mulai meracik kopi pesanan ayahnya.
Fasla membuka pintu ruangan Johan setelah mendapat izin dari dalam. Dilihatnya lelaki itu tengah menghadap laptop, hari Minggu seperti ini pun Johan lebih memilih menyibukkan diri dengan macam-macam berkasnya yang Fasla pun tak mengerti apa saja yang Johan kerjakan.
Cangkir itu Fasla letakkan ke meja Johan, sedikit mencari tempat yang aman agar tidak tumpah dan mengenai kertas yang tercecer di meja. "Ini, Yah. Em, aku lagi bikin brownies coklat, nanti kalau udah jadi mau kuantar ke sini nggak?"
Tanpa menoleh, Johan menjawab, "Boleh."
Jawaban yang membuat Fasla memekik kegirangan dalam hati, senyumnya tak dapat ia sembunyikan, jarang sekali Johan mau meladeni dirinya, lebih-lebih ia mau menerima kue buatannya. Fasla merasa, hari ini ayahnya sedikit berbeda.
"Ayah." Panggilan itu tak menarik Johan untuk menyahutinya.
"Yah, aku mau tanya." Fasla diam setelah berbicara demikian, gadis dengan rambut diikat asal itu menunggu respon Johan terlebih dahulu sebelum melontar tanyanya.
Sekian detik, Johan menanggapinya. "Apa, cepat!"
"Aku boleh minta foto Bunda?"
Pertanyaan Fasla menghentikan aktivitas Johan, pria itu menoleh singkat sebelum akhirnya pandangannya kembali ke depan. "Untuk apa?"
"Karena aku penasaran. Lagi pula buat apa Ayah sembunyikan foto Bunda?"
Helaan napas berat Fasla dengar dari Johan. Pria itu menatap lurus tembok di hadapannya, jemarinya saling ia tautkan. "Wanita itu gak pantas kamu kenal."
Fasla menarik napasnya, ia ingin melontar suatu pertanyaan yang sebenernya ia takutkan akan mengusik amarah Johan. Nampan ia bawa ketika mengantar kopi itu dipeluk erat. "Memangnya Ayah pantas menjadi sosok Ayah yang dikenal anaknya? Em, maaf."
Bagai ditimpuk batu, Johan merasa tertohok. "Apa maksudmu?"
Kembali menarik napas panjang sebelum menjawab Johan, Fasla merasakan jantungnya sedikit berpacu lebih cepat. "Sifat Ayah nggak mencerminkan sosok Ayah yang sesungguhnya, apa itu pantas? Lalu, Ayah bilang Bunda gak pantas, kenapa?" Fasla sendiri tak menyangka bisa seberani ini untuk berbicara seperti itu pada Johan, bak membangunkan macan yang baru saja jinak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Story
Teen FictionBukankah kebahagiaan adalah milik semua orang? Lantas mengapa masih ada saja orang yang mengharapkan kebahagiaan? Ini bukan tentang siapa yang tak pandai bersyukur, tetapi rasa ingin bahagia layaknya orang lain selalu datang menghampiri. Takdir tak...